BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Agama dalam pandangan ilmu antropologi ialah gejala universal masyarakat
manusia[1].
Sedangkan pandangan ilmu sosiologi, agama adalah gejala yang begitu sering
“terdapat di mana-mana” sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk
membuat abstraksi ilmiah[2].
Jadi agama merupakan sesuatu urusan yang kompleks meliputi manusia sejak
zaman dahulu sampai zaman yang akan datang. Agama akan terus ada dalam
kehidupan manusia yang tetap menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan
untuk dipecahkan oleh manusia. Dalam kehidupan nyata sekarang ini juga terdapat
banyak sekali permasalahan menyangkut agama yang tidak akan habis-habisnya
dibahas. Termasuk salah satunya adalah banyaknya agama, hal ini menjadi
pembicaraan yang tidak menghasilkan keseragaman dalam beragama. Oleh karena
masing-masing agama mengklaim kebenarannya sendiri-sendiri terhadap konsep
Tuhan dan sosial, maka diperlukanlah pembahasan secara ilmiah terhadap
agama-agama yang ada, walaupun sudah sering semenjak agama-agama ada pembahasan
tentang kebenaran agama tidak akan pernah selesai. Namun itu semua tidaklah
menjadi pelemah terhadap ikhtiar manusia mencari kebenaran dan pemecahan
masalah.
Tuhan itu satu, tidak mungkin Tuhan itu dua, tiga atau banyak karena hal
itu berlawanan dengan cara berfikir manusia dan semua agama menyepakati konsep
ini. Oleh karena itu, permasalahanya terletak pada konsepsi tentang Tuhan,
malaikat, hari kemudian dan lambang pada masing-masing agama yang perlu
pemecahannya bersifat tidak terbantahkan, mengangkat nilai-nilai ajaran yang
terkandung di dalamnya tanpa melepas pandangan
historis.
Adanya agama bukanlah untuk memperkeruh dan memporak-porandakan kehidupan
manusia, akan tetapi tujuan agama adalah supaya kehidupan manusia dihiasi
dengan nilai-nilai moral seperti adil, penuh kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan[3],
kata lainnya untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Namun karena perbedaan tadi, terjadilah kelompok-kelompok, golongan-golongan
agama yang kemudian saling menyalahkan antar pemeluk agama yang satu dengan
agama yang lainnya.
Mengingat tujuan adanya suatu agama untuk kebaikan manusia, namun yang
terjadi pada praksisnya tidak demikian, berarti hal tersebut menandakan
terdapat ketidak sesuaian antara konsep beragama dan prakteknya. Nabi Musa yang
membawa ajaran Tuhan kemudian dinamakan dengan Yahudi, Nabi Isa juga membawa
ajaran Tuhan kemudian disebut dengan Nasrani dan Nabi Muhammad pun membawa
ajaran Tuhan kemudian dinamakan Islam. Ketiga agama tersebut dinamakan agama
langit (samawi). Kehadiran agama-agama bumi (ra’yu) juga
mengajarkan tentang ketuhanan dan dewa-dewa.
Adanya keberagaman agama tersebut selain mempunyai ajaran yang dianggap
masing-masing benar juga secara bersamaan telah mengakibatkan kelompok-kelompok
yang terkadang membuat disharmoni dalam kehidupan manusia. Karena sudah pasti
istilah Tuhan, simbol, kitab suci, dan ritual-ritualnya berbeda-beda. Kalau
sudah perbedaan dikedepankan maka perpecahan atau gapp manusia yang
berlainan agamanya akan semakin jauh.
Agama tidak hadir secara bersamaan pada suatu masa, tetapi agama hadir
karena keadaan sosial budaya manusia sudah terpuruk tenggelam dalam keadaan
tertentu yang tidak baik bagi kehidupan manusia. Baik itu munculnya agama
langit ataupun agama bumi. Islam sebagai agama terakhir menjadi agama yang
perlu diangkat nilai-nilai yang terkandung dalam ajarannya untuk membuktikan
kebenarannya dan kesesuaiannya untuk kehidupan umat manusia.
Kalau agama merupakan sebuah kepercayaan yang diyakini benar dan dapat
dijadikan sebagai prinsip dalam hidup untuk bisa menggambarkan kehidupan tenang
dan damai. Maka, jika terdapat kehidupan manusia yang tenang dan damai maka ada
dua hal yang mungkin terdapat kesalahan. Pertama agama yang tidak sesuai lagi
untuk diberlakukan atau pemeluknya yang tidak bisa menjalani ajaran agama
sepenuhnya.
Diperlukan pembahasan terhadap semua agama
yang ada, akan tetapi karena mengingat Islam merupakan agama langit terakhir yang
diturunkan Tuhan untuk manusia maka pembahasan di dalam makalah ini lebih fokus
kepada Islam untuk membuktikan kebenaran Islam sebagai agama universal.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
konsep universalitas Islam?
2.
Bagaimana
konsep Islam dalam kehidupan sosial?
3.
Bagaimana
konsep berhubungan dalam Islam?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Mengetahui
konsep unersalitas Islam
2.
Mengetahui
konsep Islam dalam kehidupan social
3.
Mengetahui
konsep berhubungan dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ISLAM AGAMA UNIVERSAL
Islam berasal dari bahasa Arab yang mempunyai akar kata salima-salaaman-wasalaamatan,
diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “selamat (dari bahaya)”[4].
Dalam ilmu nahwu kata salima dikenal dengan isim nakirah yang
menunjukkan arti umum dan arti khusus bilamana kata tersebut telah dimasuki
oleh huruf alif lam kemudian menjadi al-Islamu diartikan “Yang
lebih selamat, aman” lebih lanjut didefinisikan dalam kamus al-Bisri; diinu
ja’a bihi Muhammadun[5].
Agama Islam merupakan agama ketiga dari agama langit yang sudah turun
terlebih dahulu, yaitu Yahudi dan Nasrani. Turunnya Islam kemudiannya bukan
sebagai agama baru yang mengajak menyembah kepada Tuhan di luar agama Yahudi
dan Nasrani akan tetapi untuk melengkapi dan memperbaharui agama-agama yang
turun sebelumnya. Hal tersebut terlihat dalam kitab agama Islam, yaitu al-Qur’an
yang telah banyak menceritakan tentang kitab-kitab dan agama-agama sebelum
Islam. Namun tidak terdapat cerita-cerita tentang kitab atau agama yang akan
diturunkan setelah Islam diturunkan.
Perhatikan
petikan ayat berikut:
tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ
àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ
ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9
zN»n=óM}$#
$YYÏ 4
Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (Q.S. al-Maidah: 3)[6]
Sedangkan kitab yang diturunkan
sebelum al-Qur’an telah bercerita sebelumnya bahwa akan ada kitab yang akan
turun kemudian serta informasi-informasi tentang pembawanya; Nabi Muhammad SAW.
Sebagaimana telah dijelaskan Ibnu Katsir dalam riwayat turunnya ayat al-Qur’an
yang pertama, yaitu al-Alaq. Bahwa setelah nabi Muhammad SAW. menerima ayat
pertama di Gua Hira, nabi Muhammad SAW pulang kerumahnya dalam keadaan
ketakutan dengan apa yang telah terjadi padanya, namun Khadijah sebagai istri
menghibur beliau dan mengajaknya menemui
putra paman Khadijah, yaitu Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdil Uzza
bin Qusyai. Dia adalah penganut Nasrani di zaman jahiliah dan menulis sebuah
kitab berbahasa Arab dan menulis Injil dengan bahasa Ibrani sebanyak yang
dikehendaki Allah[7].
Berikut
dialog Nabi Muhammad SAW. Dengan Waraqah:
Waraqah bertanya,
‘wahai anak saudaraku, apakah yang telah engkau alami?’ Kemudian Rasulullah
SAW. Mengabarkan kepadanya apa yang telah dia alami. Lalu Waraqah mengatakan,
‘Dia adalah Namus (Jibril) yang pernah menjumpai Musa. Andai aku masih muda.
Andai aku masih hidup sampai kamu diusir oleh wargamu.’ Rasulullah SAW.
Kemudian bertanya, ‘ apakah mereka akan mengusirku?’ Waraqah menjawab,’ Benar.
Tidak ada seoarang pun yang datang dengan membawa sesuatu yang sama dengan apa
yang kamu bawa kecuali akan dizalimi. Bila aku masih hidup di masamu, tentu aku
akan menolongmu dengan pertolongan yang sangat kuat.’[8]
Dalam bukunya The History of The
Qur’anic Text M.M. al-A’zami menjelakan bahwa di dalam teks Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru yang telah diubah pun mengandung refensi-refensi yang
menyebutkan tentang nabi yang akan datang. Referensi-referensi tersebut juga
telah disaksikan oleh para sahabat dan para khalifah[9].
Lebih
lanjut tentang M.M. al-A’zami
menjelaskan tentang keempat pengarang Injil yang ada sekarang, yaitu Injil
Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Semua pengaranya tidak ada yang
meninggalkan jejak yang jelas sehingga tidak diketahui secara pasti.
Jadi sudah jelaslah bahwa Islam
merupakan Agama Universal untuk semua umat manusia di muka bumi ini, membawa
ajaran yang menyeru kepada ma’ruf dan mencegah dari segala yang munkar.
Sebagaimana ayat berikut:
tûïÏ%©!$# cqãèÎ7Ft tAqß§9$#
¢ÓÉ<¨Z9$# ¥_ÍhGW{$# Ï%©!$# ¼çmtRrßÅgs $¹/qçGõ3tB öNèdyYÏã Îû
Ïp1uöqG9$# È@ÅgUM}$#ur NèdããBù't Å$rã÷èyJø9$$Î/
öNßg8pk÷]tur Ç`tã Ìx6YßJø9$# @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ
y]Í´¯»t6yø9$#
ßìÒtur
öNßg÷Ztã
öNèduñÀÎ) @»n=øñF{$#ur ÓÉL©9$#
ôMtR%x. óOÎgøn=tæ 4
úïÏ%©!$$sù
(#qãZtB#uä ¾ÏmÎ/ çnrâ¨tãur çnrã|ÁtRur (#qãèt7¨?$#ur uqZ9$# üÏ%©!$# tAÌRé&
ÿ¼çmyètB
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd
cqßsÎ=øÿßJø9$#
(yaitu)
orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu
yang ada pada mereka[1][10].
Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka
Itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. al-A’raf:
157)[11]
B.
NILAI-NILAI ISLAM DAN
KEHIDUPAN SOSIAL
1.
Pandangan Islam terhadap Individu
Seorang manusia dalam
kehidupannya mempunyai model yang sama yaitu dari dilahirkan menuju remaja,
kemudia dewasa, tua lalu kemudian mati dan lenyap tertelan tanah. Jika dilihat
hanya dari sisi siklus kehidupan seperti itu maka individu manusia tidak
berbeda dengan seekor kambing atau sebatang pohon. Akhir ceritanya hanyalah
“mati/lenyap” dan definisi manusia pun sangat gampang, cukup dengan definisi
manusia adalah makhluk Tuhan berkaki dua yang berjalan tegak di muka bumi.
Individu yang satu dengan
individu yang lain sudah tentu berbeda, baik dari fisik, pikiran, dan jiwa.
Tidak pernah ada ceritanya di muka bumi bahwa ada individu Untuk lebih
kenprehensip definisi tentang individu ini maka akan lebih bagus mengambil
rujukan dari defenisi yang telah dibuat oleh tokoh-tokoh cendekia yang populer
pemikirannya.
H. Endang Saifuddin Anshari
setelah mengumpulkan pengertian-pengertian tentang manusia dari beberapa tokoh
baik dari Barat maupun Timur seperti, Julien Offrey de Lamettrie, Charles
Robert Darwin Ernest Haeckel, Ensiklopedia Indonesia, Balise Pascal,
Aristoteles, Ibn Sina Ibn Khaldun, Musthapa al-Maraghi, Wiliam ernest Hocking,
C.E.M. Joad, Harold H. Titus, D.C. Mulder, J. Verkuyl, Takdir Alisyahbana, N,
Drijarkara S.J., Joseph v. Kopp – Teillhard de Chardin, Soedewo P.K., R.F.
Beerling, dan Franz Dahler menghasilkan kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk
pencari kebenaran.
Manusia adalah hewan yang berpikir. Berpikir adalah bertanya.
Bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawaban adalah mencari kebenaran.
Mencari jawaban tentang Tuhan, alam, dan manusia. Jadi pada akhirnya; manusia
adalah makhluk pencari kebenaran[12].
Berbeda lagi dengan salah satu pemikir Timur Tengah Ali Shari’ati
yang berpendapat bahwa kesimpulan besar yang dapat diambil dari filsafat
tentang manusia dalam Islam adalah bahwa ia seorang makhluk dua dimensional.[13]
Yang dimaksud dua dimensional ialah terdapat dua potensi di dalam diri manusia,
potensi kebaikan dan potensi kejahatan. Mana di antara dua potensi tersebut
yang dominan maka itulah yang akan menguasai manusia. Katanya lagi, manusia
mempunyai intelektualitas yang bisa mengangkat derajatnya ke ketinggian yang
paling tinggi sebagaimana kisah ketika Nabi Adam mengalahkan malaikat dan jin
dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan Allah kepadanya.
Israrul Haque menambahkan bahwa manusia, tidak disangsikan
lagi, dapat mencapai derajat yang paling mulia tetapi pada saat yang sama ia
dapat juga “membungkuk” sangat rendah dan bisa berada pada derajat yang
serendah-rendahnya.[14]
Israrul Haque memandang akan tinggi atau rendahnya derajat manusia tergantung
dari nilai-nilai moral-spiritual yang terdapat padanya.
Kalau al-Qur’an mempunyai
pandangan terhadap manusia sebagai berikut:
$ygyJolù;r'sù
$yduqègéú
$yg1uqø)s?ur
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Qs. Asy-Syam:
8)
$ygr'¯»t
â¨$¨Z9$#
bÎ)
óOçFZä.
Îû
5=÷u
z`ÏiB
Ï]÷èt7ø9$#
$¯RÎ*sù
/ä3»oYø)n=yz
`ÏiB
5>#tè?
§NèO
`ÏB
7pxÿõÜR
§NèO
ô`ÏB
7ps)n=tæ
¢OèO
`ÏB
7ptóôÒB
7ps)¯=sC
Îöxîur
7ps)¯=sèC
tûÎiüt7ãYÏj9
öNä3s9
4
É)çRur
Îû
ÏQ%tnöF{$#
$tB
âä!$t±nS
#n<Î)
9@y_r&
wK|¡B
§NèO
öNä3ã_ÌøéU
WxøÿÏÛ
¢OèO
(#þqäóè=ö7tFÏ9
öNà2£ä©r&
(
Nà6ZÏBur
`¨B
4¯ûuqtGã
Nà6ZÏBur
`¨B
tã
#n<Î)
ÉAsör&
ÌßJãèø9$#
xøx6Ï9
zNn=֏t
.`ÏB
Ï÷èt/
8Nù=Ïæ
$\«øx©
4
ts?ur
ßöF{$#
ZoyÏB$yd
!#sÎ*sù
$uZø9tRr&
$ygøn=tæ
uä!$yJø9$#
ôN¨tI÷d$#
ôMt/uur
ôMtFt6/Rr&ur
`ÏB
Èe@à2
£l÷ry
8kÎgt/
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan
tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah
menjadikan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal
darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa
yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan
kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu
yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya. dan kamu lihat bumi Ini kering,
Kemudian apabila Telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan
suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.
(Qs. Al-Haj: 5)
óOs9r&
/3)è=øwU
`ÏiB
&ä!$¨B
&ûüÎg¨B
üÏ%©!$#
z`|¡ômr&
¨@ä.
>äóÓx«
¼çms)n=yz
(
r&yt/ur
t,ù=yz
Ç`»|¡SM}$#
`ÏB
&ûüÏÛ
Yang membuat segala sesuatu yang dia
ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
(Qs. As-Sajdah: 7)
çmyJ¯=tã
tb$ut6ø9$#
Mengajarnya pandai berbicara.
(ar-Rahman: 4)
ôs)s9ur
$uZù=yör&
NÍkÏù
z`ÍÉYB
Dan Sesungguhnya Telah kami utus
pemberi-pemberi peringatan (rasul-rasul) di kalangan mereka.
(ash-Shaffat: 72)
ôô`ÏBur
ÿ¾ÏmÏG»t#uä
÷br&
Nä3s)n=s{
`ÏiB
5>#tè?
¢OèO
!#sÎ)
OçFRr&
Öt±o0
crçųtFZs?
ÇËÉÈ
ô`ÏBur
ÿ¾ÏmÏG»t#uä
÷br&
t,n=y{
/ä3s9
ô`ÏiB
öNä3Å¡àÿRr&
%[`ºurør&
(#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøs9Î)
@yèy_ur
Nà6uZ÷t/
Zo¨uq¨B
ºpyJômuur
4
¨bÎ)
Îû
y7Ï9ºs
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
tbrã©3xÿtGt
ÇËÊÈ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah dia menciptakan kamu dari tanah, Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi)
manusia yang berkembang biak.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
(Qs. Ar-Rum: 20 - 21)
Demikian al-Qur’an menggambarkan manusia
dengan segenap kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Maka dapat diberikan
definisi bahwa dengan merujuk kepada ayat-ayat di atas bahwa manusia mempunyai
tiga bagian dalam dirinya selaku individu, yaitu pertama, manusia terdiri dari
fisik. Kedua, manusia terdiri dari akal pikiran, dan ketiga, manusia terdiri
dari ruh/jiwa.
Dari bagian fisiknya manusia tidak ada
perbedaan yang substansial dengan makhluk Tuhan yang lainnya seperti binatang.
Kemudian akal pikiran merupakan daya tambah manusia supaya lebih dari binatang
akan tetapi tidak melebihi makhluk Tuhan seperti syetan, maka dengan adanya
bagian ketiga seperti ruh/jiwa yang berasal dari bagian dari Tuhan sebagai
pelengkap akan akal pikirannya membuat manusia bisa menjadi wakil Tuhan di muka
bumi dan sekaligus melebihi malaikat dan syetan.
Melihat keadaan manusia pada praksisnya
sedari dulu sampai sekarang memang manusia telah menggabarkan apa yang telah
diterangkan oleh ayat-ayat al-Qur’an bahwa manusia itu terkadang-kadang.
Maksudnya tergantung dari dua kutub yang terdapat dalam dirinya, kutub kebaikan
dan kutub kejahatan, mana yang diikuti oleh jiwanya maka akal pikiran dan fisiknya
akan bekerja untuk jiwa yang sudah terkekang oleh kutub jahat tadi.
Untuk menghindari manusia kepada
condongnya kepada kutub kejahatan tadi maka manusia memerlukan kepercayaan dan
pedoman dalam mengarungi hidupnya sehingga manusia tetap membutuhkan dan
mengakui kekuatan eksternal atau ada sesuatu yang sangat berkuasa melebihi
kekuasaan apapun yang ada, dan itu diistilahkan dengan Tuhan.
Dengan keadaan diri manusia yang seperti
itu, maka setiap manusia sudah pasti mempunyai tujuan dalam hidupnya, tujuan
manusia akan terus berkutat pada tiga dimensi yang telah dipaparkan di atas
tadi, namun hanya tujuan manusia yang dilandasi oleh dimensi jiwanya saja yang
akan selamat di hari pembalasan.
2.
Konsep Masyarakat dalam
Islam
Sudah menjadi sunnatullah
bahwa manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendirian,
makhluk yang selalu membutuhkan antar sesamanya berkumpul untuk membentuk
sebuah perkumpulan (community).
Sejarah manusia pertama yaitu Nabi Adam yang hidup dalam kemewahan (syurga) yang tidak pernah mata
melihatnya, telinga mendengarnya, dan terbetik dalam hati manusia setelah Adam,
ditambah lagi dengan dapatnya berkomunikasi langsung dengan Tuhan, malaikat,
dan Jin masih saja Adam merasa kesepian sehingga diciptakanlah Hawa dari jenisnya
yang kemudian menemaninya.
Hal tersebut tidak saja
terjadi pada Adam dan Hawa namun sampai sekarang masih terjadi pada setiap
individu manusia bahwa tidak ada yang bisa hidup sendirian. Kisah Adam dan Hawa
yang menjadi awal mula perkumpulan individu dengan individu. Setelah
berkumpulnya individu-individu maka terbentuklah perkumpulan, dan perkumpulan
inilah yang dinamakan masyarakat. Karena masyarakat terdiri dari
individu-individu yang mempunyai tujuan maka masyarakat juga haruslah mempunyai
tujuan yang tidak berlawanan dengan tujuan individu tadi, agar tidak terjadinya
kerancuan dalam masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang mempunyai
tujuan. Apabila suatu masyarakat tidak terarah dalam tujuannya maka banyak
dampak negatif yang akan terjadi dan merusak tatanan masyarakat yang baik.
Oleh karena masyarakat terdiri dari individu sudah
tentu tuntutan dari tujuan masing-masing individu akan membentuk suatu
masyarakat. Dalam hal ini Islam sebagai agama individu dan masyarakat mempunyai
konsep yang jelas untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat.
Seperti telah dijelaskan di
atas bahwa manusia ialah makhluk yang kreatif, maka dengan kekreatifannya dalam
masyarakat akan terjadi saling mempengaruhi antar sesamanya, siapa diantara
mereka yang paling kuat tiga dimensinya akan diikuti sehingga timbullah suatu
tradisi atau adat budaya yang mendukung terhadap tujuan secara individu dan
masyarakat tadi. Tradisi tidak akan bisa jauh oleh pengaruh agama, peradaban,
dan budaya sebagaimana Satori Ismail dkk. dalam bukunya Islam Moderat membahas Hadharah (Peradaban), Tsaqafah (Kebudayaan) dan Din (Agama) ketiganya tidak terpisah.
a.
Peradaban (Hadharah) Masyarakat Islam
Untuk lebih jelasnya
mengenai peradaban penulis kutip beberapa pemaknaan peradaban oleh tokoh-tokoh
kontemporer seperti Arnold Toynbee lewat Israrul Haque menyatakan bahwa
peradaban adalah sebuah pelayaran dan bukan sebuah pelabuhan. Ia adalah sebuah
pergerakan bukan sebuah kondisi. Karenanya, peradaban menjadi sebuah perjuangan
yang tak terbatas kaitannya dengan ruang dan waktu.[16]
Pandangan Bertrand Russel
mencakup aspek humanis atau pandangan spiritual. Bertrand Russel berpendapat
lewat Israrul Haque bahwa kehidupan manusia yang sesungguhnya bukanlah urusan
mengisi perut dan membajui badannya, tetapi berada pada seni, pada pikiran dan
cinta, pada penciptaan dan kontemplasi keindahan dan pada pengertian-pengertian
alamiah tentang dunia.[17]
Pandangan Bertrand Russel
sealur dengan pandangan ulama Timur Tengah, yaitu Sayyid Qutbh yang mempunyai
pandangan bahwa peradaban ialah sesuatu yang dapat memberikan manusia berupa
ideologi, persepsi, prinsip-prinsip dan values (nilai-nilai) yang baik untuk
mengarahkan manusia dan memberikan peluang demi perkembangan dan kemajuan yang
hakiki yakni bagi nilai-nilai kehidupan manusia.[18]
Khan, arkeolog dari Pakistan
melihat peradaban dari pandangan material yang agak berlawanan dengan pendapat
Bertrand Russel di atas, pandangan yang berahir pada materi. Khan berpendapat lewat Israrul Haque bahwa peradaban
adalah sesuatu yang dibuat oleh manusia, hasil pencapian kemakmuran material
dalam merespon perluasan konsep-konsep kehidupan masyarakat yang berkembang
dalam pikiran-pikiran manusia.[19]
Pandangan yang lain bahwa
seolah-olah menyamakan manusia dengan binatang, sehingga setelah manusia sampai
kepada tahap peradaban yang diperjuangkannya maka kelakuan yang diperlihatkan
seperti tingkah-tingkah yang diperlihatkan binatang, Cuma perbedaanya manusia
melakukannya rapi dan teratur karena dibantu oleh akal pikirannya. Karena
manusia terkadang akan terkungkung oleh lingkungannya yang tidak bisa ia
kalahkan. Sebagaimana Israrul Haque kemukakan bahwa manusia dalam keadaannya
yang semula secara esensial adalah ciptaan dari kebiasaan-kebiasaan dan
kapabilitas-kapabilitas yang diperoleh dalam lingkungan.[20]
b.
Kebudayaan (Tsaqafah) Masyarakat Islam
Tsaqofah dalam bahasa Arab berarti: al-Hidzqu wal-fithnah (kemahiran dan kepandaian), (tsaqufa) berarti juga cepat paham atau
cerdas, meluruskan moral. Dalam al-Qur’an kata Tsaqofa mempunyai beberapa arti, antara lain: menjumpai,
mengetahui, menangkap (al-Nisa’: 91; al-Ahzab: 61; al-Mumtahanah:2).[21]
c.
Agama (Din)
Agama merupakan salah satu faktor yang membentuk
kebudayaan dan peradaban. Jadi agama sudah inklud sebagai faktor pembentuk
suatu masyarakat. Peradaban dan budaya suatu masyarakat akan tercermin oleh
agama apa yang diyakini, sebagaimana Caknur mengatakan bahwa pada zaman
kekuasaan Islam, bahasa Arab praktis menjadi bahasa semua bangsa yang
terbebaskan oleh Islam, kecuali Persia dan daerah pengaruhnya, ke timur sampai
Bangladesh dan ke barat sampai Turki.[22]
Artinya dari bahasa kebudayaan dan peradaban juga akan
terwujud karena lewat bahasalah ilmu pengetahuan dipelajari oleh manusia. Benar
apa yang dikemukakan Endang Saefuddin Anshari bahwa agama dapat diibaratkan
sebagai suatu gedung besar perpustakaan kebenaran. Siapa saja yang dapat
memasukinya melalui pintunya. Pintunya dapat dilalui bila terbuka. Pintunya
terbuka bila tidak terkunci. Anak kunci pembuka pintu gedung tersebut bukanlah
sembarangan, melainkan anak kunci yang sangat istimewa. Anak kunci yang
istimewa itu tiada lain ialah: Iman.[23]
C.
NILAI-NILAI ISLAM DALAM
BERHUBUNGAN
1.
Hubungan Manusia Dengan
Tuhan
Hubungan manusia dengan
Tuhan (hablum min Allah) ialah
hubungan pencipta dengan yang dicipta, hubungan yang memberi dengan yang
diberi, hubungan yang maha kaya dengan hubungan yang sangat membutuhkan (fakir). Dalam istilah agama berhubungan
dengan Tuhan dinamakan ibadah, sebagaimana Sayyid Qutbh mendefinisikan bahwa
kata “ibadah” biasanya dipakai untuk ritual-ritual peribadatan dan untuk
interaksi yang terjadi antara seorang hamda dan Tuhan, sebagai lawan kata
“mu’amalah”, yang biasanya dipakai untuk interaksi yang berlangsung antara
manusia dengan manusia lainnya.
Ibadah dalam Islam merupakan
kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia kepada Tuhan, begitu juga dalam
agama-agama lain memperlihatkan ritual-ritual yang termasuk dalam istilah
ibadah seperti pengertian di atas. Islam lewat kitab suci al-Qur’an menyatakan
bahwa “dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembahku”.[24]
Bila ditelaah lebih mendalam
penegasan Tuhan lewat ayat di atas, dalam bahasa Arab kata “al-nas” dalam surat
tersebut mempunyai arti yang ditunjukkan maksudnya kepada semua manusia secara
keseluruhan. Jadi penegasan tersebut, bukan hanya untuk orang yang beragama
Islam saja yang disuruh untuk beribadah oleh Tuhan, namun semua manusia yang
ada di muka bumi telah diwajibkan beribadah kepada Tuhan.
Ibadah menurut pandangan
Islam tidak sebatas pada ritual-ritual semata (ibadah mahdoh) yang dilakukan pada saat-saat tertentu dan di
tempat-tempat tertntu pula. Namun di semua waktu dan di semua tempat ibadah
bisa dilakukan dengan segala bentuk kondisi ruang dan waktu yang menyertai saat
itu. Bertemu dengan orang lain kemudian mengucapkan selam, memperliahatkan
senyuman, dan akhlak yang terpuji merupakan ibadah dalam Islam. Dari
menyingkirkan duri di jalanan sampai bersujud di dalam masjid merupakan ibadah.
2.
Hubungan Manusia Dengan
Sesama
Hubungan manusia dengan sesamanya juga seperti yang telah
dijelaskan di atas bahwa termasuk dalam ibadah. Lebih luas dari itu, manusia
yang menghuni bumi dalam kenyataannya tidak beragama satu. Dengan demikian
telah terbentuk kelompok-kelompok agama sebagaimana banyaknya agama yang
terdapat seperti yang ada sekarang ini. Agama yang diakui di Indoneisa saja
enam agama, belum lagi agama-agama yang di luar Indonesia dengan segala macam
bentuknya atau dari animisme sampai agama langit (samawi).
Islam menggambarkan ada dua bentuk hubungan kepada sesama,
yaitu hubungan berdasarkan seagama (ukhuwah
Islamiyah) dan hubungan berdasarkan sesama manusia (ukhuwah insaniah). Seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
SAW. Bahwa dalam berhubungan dengan sesama yang seagama harus dinaungi oleh
syari’at Islam yaitu aturan-aturan-aturan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan
al-Hadis menjadi pedoman.
Sedangkan berhubungan dengan sesama yang tidak seagama juga
tidak bisa terlepas dari mencontoh kepada Rasulullah SAW ketika berada di
Madinah yang beragam agama yang ada serperti Yahudi dan Nasrani yang sudah
duluan ada di Madinah. Akan tetapi kesepakatan bersama untuk menjalani hidup
berdampingan menghasilkan piagam Madinah yang mengatur hubungan atas nama
masyarakat secara umum.
3.
Hubungan Manusia Dengan Alam
Hubungan manusia dengan alam
ialah bisa dianalogikan seperti seorang bos yang mempunyai rumah besar kemudian
ada pesuruhnya yang diminta menjaga dan merawat rumah tersebut. Tuhan sebagai
pemilik rumah, manusia sebagai kepercayaan Tuhan untuk menjaga dan merawat
rumah, dan rumah sendiri sebagai alam. Sebelum manusia diciptakan malaikat
berdialog dengan Tuhan sebagaimana ayat di bawah ini:
“ingatlah ketika
Tuhan-mu berfirman kepada malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah
di muka bumi”. Mereka berkata, mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih memuji Engkau dan menyucikan Engkau? Tuhan
berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui”.[25]
Jadi manusia dengan alam
mempunyai perbedaan yang nyata bahwa manusia lebih tinggi dari pada alam.
Manusia menjadi wakil Tuhan (khalifah)
sedangkan alam diciptakan Tuhan untuk manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
setelah manusia terlempar dari syurga akibat kesalahannya melanggar aturan yang
sudah dibuat Tuhan.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
- KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Islam
merupakan agama universal yang terbutkti bahwa di dalam perjanjian lama dan
perjanjian baru juga telah disebutkan bahwa akan ada nabi yang diutus setlelah
nabi Musa As. dan nabi Isa As. Yaitu nabi Muhammad SAW. Sedangkan di dalam
al-Qur’an tidak ada disebutkan akan ada nabi setelah nabi Muhammad atau akan
ada lagi kitab yang turun setelah al-Qur’an diturunkan.
2.
Dalam
kehidupan sosial Islam juga mengatur kehiduapan bermasyarakat sampai bernegara
yang berkesesuan dengan tujuan individu manusia. Dari bertauhid sampai kepada
peradaban yang maju akan terlaksana bialamana apa yang telah digariskan seperti
nabi Muhammad contohkan akan mengantarkan umat manusia kepada keselamatan hidup
di dunia.
3.
Konsep
berhubungan dalam Islam terbagi menjadi dua, yaitu tidak terbatas pada ruang
dan waktu dan terbatas pada ruang dan waktu. Hubungan yang tidak terbatas oleh
rauang dan waktu ialah hubungan yang bersifat transendental, yaitu hubungan
manusia dengan Tuhan dan segala bentuk yang gaib-gaib. Adapun hubungan yang
terbatas oleh ruang dan waktu ialah hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan manusia dengan alam, bahwa hubungannya dengan sesama dan alam hanya
dapat dilakukan ketika sedang menjalani kehiduapannya.
B.
PENUTUP
Dalam penulisan makalah ini penulis
menulisnya dengan secermat-cermatnya namun karena penulis juga termasuk manusia
yang tidak terlepas dari salah dan lupa maka jika terdapat kekeliruan baik yang
berbentuk salah ketik atau salah makna atau maksud mohon segera diberikan
kritik yang membangun. Demikian yang penulis bisa kerjakan, dan semoga kalimat
sederhana ini bisa memberikan sumbangan yang bermakna kepda pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Adib
Bisri, Kamus Indonesia Arab-Arab
Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Achmad
Satori ismail dkk, Islam Moderat Menebar
Islam Rahmatan Lil Alamin, Jakarta Timur: Pustaka Ikadi, 2007.
Ali
Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran
dan Kepercayaan Manusia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Bachrun
Rif’i, Filsafat Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia, 2010
Departemen Agama RI, AL-Qur’an
dan Terjemahan Al-Jumanatul Ali, Bandung: CV. J-ART, 2005.
Endang Saefuddin Anshari, Ilmu,
Filsafat & Agama, Surabaya: PT Bina Ilmu Offset.
Israrul
Haque, Menuju Renaissance Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
M.M.
Al-A’zami, The History of The Qur’anic
Text From Revelation To Compilation A Comparative Study With the Old and New
Testaments, Jakarta: Gema Insani, 2002.
Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin & Peeradaban, Jakarta
Timur: PT Dian Rakyat, 2008.
Sayyid
Qutbh, Fiqih Pergerakan Aku Wariskan
Untuk kalian, Yogyakarta: Pro-U Media, 2007.
[1] Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar
Antropologi Agama, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007, h. 3.
[2] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar
Sosiologi Agama, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002, h. 3.
[3] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya al-Jumanatul
Ali, Bandung: CV. J-ART, 2005, h. 278. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia member pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S. an-Nahl: 90).
[4] Adib Bisri, Munawwir AF, Kamus al-Bisri Arab Indonesia-Indonesia
Arab, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999, h. 339
[5] Agama yang datang dengan Nabi Muhammad SAW.
[6] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya al-Jumanatul
Ali, h. 109.
[7] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah, Ringkasan Ibnu
Katsir, Jilid 4, Jakarta: Gema Insani, 2000, h. 1012.
[8] Ibid, h. 1012.
[9] M.M. al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation
To Compilation A Comparative Study with the Old and New Testaments,
Jakarta: Gema Insani, 2005, h. 293.
[10] [1] Maksudnya:
dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang
berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh
diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja
atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang
melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.
[11] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya al-Jumanatul
Ali, hlm. 171.
[12] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat & Agama, (Bandung:
PT. Bina Ilmu, 2009), hlm. 16.
[13] Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 14
[14] Israrul Haque, Menuju Renaissance Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 119.
[16] Israrul haque, Menuju
Renaissance Islam, hlm. 299
[17] Ibid, hlm. 300.
[18] Achmad Satori Ismail, Islam
Moderat, Menebar Islam Rahmatan Lil Alamin, (Jakarta Timur: Pustaka Ikadi,
2007), hlm. 196.
[19] Ibid, hlm. 302.
[20] Ibid, hlm. 305.
[21] Achmad Satori Ismail, op.cit,
hlm. 198.
[22] Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta Timur: PT Dian Rakyat, 2008), hlm. 544.
[23] Endang Saefuddin Anshari, Ilmu
Filsafat & Agama, hlm. 140-141
[25] Qs. Al-baqarah: 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar