Sabtu, 25 Mei 2013

Nilai-nilai universalitas Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Agama dalam pandangan ilmu antropologi ialah gejala universal masyarakat manusia[1]. Sedangkan pandangan ilmu sosiologi, agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat di mana-mana” sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah[2].
Jadi agama merupakan sesuatu urusan yang kompleks meliputi manusia sejak zaman dahulu sampai zaman yang akan datang. Agama akan terus ada dalam kehidupan manusia yang tetap menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan untuk dipecahkan oleh manusia. Dalam kehidupan nyata sekarang ini juga terdapat banyak sekali permasalahan menyangkut agama yang tidak akan habis-habisnya dibahas. Termasuk salah satunya adalah banyaknya agama, hal ini menjadi pembicaraan yang tidak menghasilkan keseragaman dalam beragama. Oleh karena masing-masing agama mengklaim kebenarannya sendiri-sendiri terhadap konsep Tuhan dan sosial, maka diperlukanlah pembahasan secara ilmiah terhadap agama-agama yang ada, walaupun sudah sering semenjak agama-agama ada pembahasan tentang kebenaran agama tidak akan pernah selesai. Namun itu semua tidaklah menjadi pelemah terhadap ikhtiar manusia mencari kebenaran dan pemecahan masalah.
Tuhan itu satu, tidak mungkin Tuhan itu dua, tiga atau banyak karena hal itu berlawanan dengan cara berfikir manusia dan semua agama menyepakati konsep ini. Oleh karena itu, permasalahanya terletak pada konsepsi tentang Tuhan, malaikat, hari kemudian dan lambang pada masing-masing agama yang perlu pemecahannya bersifat tidak terbantahkan, mengangkat nilai-nilai ajaran yang terkandung  di dalamnya tanpa melepas pandangan historis.
Adanya agama bukanlah untuk memperkeruh dan memporak-porandakan kehidupan manusia, akan tetapi tujuan agama adalah supaya kehidupan manusia dihiasi dengan nilai-nilai moral seperti adil, penuh kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan[3], kata lainnya untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Namun karena perbedaan tadi, terjadilah kelompok-kelompok, golongan-golongan agama yang kemudian saling menyalahkan antar pemeluk agama yang satu dengan agama yang lainnya.
Mengingat tujuan adanya suatu agama untuk kebaikan manusia, namun yang terjadi pada praksisnya tidak demikian, berarti hal tersebut menandakan terdapat ketidak sesuaian antara konsep beragama dan prakteknya. Nabi Musa yang membawa ajaran Tuhan kemudian dinamakan dengan Yahudi, Nabi Isa juga membawa ajaran Tuhan kemudian disebut dengan Nasrani dan Nabi Muhammad pun membawa ajaran Tuhan kemudian dinamakan Islam. Ketiga agama tersebut dinamakan agama langit (samawi). Kehadiran agama-agama bumi (ra’yu) juga mengajarkan tentang ketuhanan dan dewa-dewa.
Adanya keberagaman agama tersebut selain mempunyai ajaran yang dianggap masing-masing benar juga secara bersamaan telah mengakibatkan kelompok-kelompok yang terkadang membuat disharmoni dalam kehidupan manusia. Karena sudah pasti istilah Tuhan, simbol, kitab suci, dan ritual-ritualnya berbeda-beda. Kalau sudah perbedaan dikedepankan maka  perpecahan atau gapp manusia yang berlainan agamanya akan semakin jauh.
Agama tidak hadir secara bersamaan pada suatu masa, tetapi agama hadir karena keadaan sosial budaya manusia sudah terpuruk tenggelam dalam keadaan tertentu yang tidak baik bagi kehidupan manusia. Baik itu munculnya agama langit ataupun agama bumi. Islam sebagai agama terakhir menjadi agama yang perlu diangkat nilai-nilai yang terkandung dalam ajarannya untuk membuktikan kebenarannya dan kesesuaiannya untuk kehidupan umat manusia.
Kalau agama merupakan sebuah kepercayaan yang diyakini benar dan dapat dijadikan sebagai prinsip dalam hidup untuk bisa menggambarkan kehidupan tenang dan damai. Maka, jika terdapat kehidupan manusia yang tenang dan damai maka ada dua hal yang mungkin terdapat kesalahan. Pertama agama yang tidak sesuai lagi untuk diberlakukan atau pemeluknya yang tidak bisa menjalani ajaran agama sepenuhnya.
Diperlukan pembahasan terhadap semua agama yang ada, akan tetapi karena mengingat Islam merupakan agama langit terakhir yang diturunkan Tuhan untuk manusia maka pembahasan di dalam makalah ini lebih fokus kepada Islam untuk membuktikan kebenaran Islam sebagai agama universal.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana konsep universalitas Islam?
2.      Bagaimana konsep Islam dalam kehidupan sosial?
3.      Bagaimana konsep berhubungan dalam Islam?
C.     TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui konsep unersalitas Islam
2.      Mengetahui konsep Islam dalam kehidupan social
3.      Mengetahui konsep berhubungan dalam Islam


BAB II
PEMBAHASAN
A.    ISLAM AGAMA UNIVERSAL
Islam berasal dari bahasa Arab yang mempunyai akar kata salima-salaaman-wasalaamatan, diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “selamat (dari bahaya)”[4]. Dalam ilmu nahwu kata salima dikenal dengan isim nakirah yang menunjukkan arti umum dan arti khusus bilamana kata tersebut telah dimasuki oleh huruf alif lam kemudian menjadi al-Islamu diartikan “Yang lebih selamat, aman” lebih lanjut didefinisikan dalam kamus al-Bisri; diinu ja’a bihi Muhammadun[5].
Agama Islam merupakan agama ketiga dari agama langit yang sudah turun terlebih dahulu, yaitu Yahudi dan Nasrani. Turunnya Islam kemudiannya bukan sebagai agama baru yang mengajak menyembah kepada Tuhan di luar agama Yahudi dan Nasrani akan tetapi untuk melengkapi dan memperbaharui agama-agama yang turun sebelumnya. Hal tersebut terlihat dalam kitab agama Islam, yaitu al-Qur’an yang telah banyak menceritakan tentang kitab-kitab dan agama-agama sebelum Islam. Namun tidak terdapat cerita-cerita tentang kitab atau agama yang akan diturunkan setelah Islam diturunkan.
Perhatikan petikan ayat berikut:
tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (Q.S. al-Maidah: 3)[6]
Sedangkan kitab yang diturunkan sebelum al-Qur’an telah bercerita sebelumnya bahwa akan ada kitab yang akan turun kemudian serta informasi-informasi tentang pembawanya; Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana telah dijelaskan Ibnu Katsir dalam riwayat turunnya ayat al-Qur’an yang pertama, yaitu al-Alaq. Bahwa setelah nabi Muhammad SAW. menerima ayat pertama di Gua Hira, nabi Muhammad SAW pulang kerumahnya dalam keadaan ketakutan dengan apa yang telah terjadi padanya, namun Khadijah sebagai istri menghibur beliau dan mengajaknya menemui  putra paman Khadijah, yaitu Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdil Uzza bin Qusyai. Dia adalah penganut Nasrani di zaman jahiliah dan menulis sebuah kitab berbahasa Arab dan menulis Injil dengan bahasa Ibrani sebanyak yang dikehendaki Allah[7].
Berikut dialog Nabi Muhammad SAW. Dengan Waraqah:
Waraqah bertanya, ‘wahai anak saudaraku, apakah yang telah engkau alami?’ Kemudian Rasulullah SAW. Mengabarkan kepadanya apa yang telah dia alami. Lalu Waraqah mengatakan, ‘Dia adalah Namus (Jibril) yang pernah menjumpai Musa. Andai aku masih muda. Andai aku masih hidup sampai kamu diusir oleh wargamu.’ Rasulullah SAW. Kemudian bertanya, ‘ apakah mereka akan mengusirku?’ Waraqah menjawab,’ Benar. Tidak ada seoarang pun yang datang dengan membawa sesuatu yang sama dengan apa yang kamu bawa kecuali akan dizalimi. Bila aku masih hidup di masamu, tentu aku akan menolongmu dengan pertolongan yang sangat kuat.’[8]
Dalam bukunya The History of The Qur’anic Text M.M. al-A’zami menjelakan bahwa di dalam teks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang telah diubah pun mengandung refensi-refensi yang menyebutkan tentang nabi yang akan datang. Referensi-referensi tersebut juga telah disaksikan oleh para sahabat dan para khalifah[9]. Lebih lanjut tentang M.M. al-A’zami menjelaskan tentang keempat pengarang Injil yang ada sekarang, yaitu Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Semua pengaranya tidak ada yang meninggalkan jejak yang jelas sehingga tidak diketahui secara pasti.
Jadi sudah jelaslah bahwa Islam merupakan Agama Universal untuk semua umat manusia di muka bumi ini, membawa ajaran yang menyeru kepada ma’ruf dan mencegah dari segala yang munkar. Sebagaimana ayat berikut:
tûïÏ%©!$# šcqãèÎ7­Ftƒ tAqß§9$# ¢ÓÉ<¨Z9$# ¥_ÍhGW{$# Ï%©!$# ¼çmtRrßÅgs $¹/qçGõ3tB öNèdyYÏã Îû Ïp1uöq­G9$# È@ÅgUM}$#ur NèdããBù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ öNßg8pk÷]tƒur Ç`tã ̍x6YßJø9$# @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ßìŸÒtƒur öNßg÷Ztã öNèduŽñÀÎ) Ÿ@»n=øñF{$#ur ÓÉL©9$# ôMtR%x. óOÎgøŠn=tæ 4 šúïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä ¾ÏmÎ/ çnrâ¨tãur çnrã|ÁtRur (#qãèt7¨?$#ur uqZ9$# üÏ%©!$# tAÌRé& ÿ¼çmyètB   y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$#
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka[1][10]. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. al-A’raf: 157)[11]























B.     NILAI-NILAI ISLAM DAN KEHIDUPAN SOSIAL
1.      Pandangan Islam terhadap Individu
Seorang manusia dalam kehidupannya mempunyai model yang sama yaitu dari dilahirkan menuju remaja, kemudia dewasa, tua lalu kemudian mati dan lenyap tertelan tanah. Jika dilihat hanya dari sisi siklus kehidupan seperti itu maka individu manusia tidak berbeda dengan seekor kambing atau sebatang pohon. Akhir ceritanya hanyalah “mati/lenyap” dan definisi manusia pun sangat gampang, cukup dengan definisi manusia adalah makhluk Tuhan berkaki dua yang berjalan tegak di muka bumi.
Individu yang satu dengan individu yang lain sudah tentu berbeda, baik dari fisik, pikiran, dan jiwa. Tidak pernah ada ceritanya di muka bumi bahwa ada individu Untuk lebih kenprehensip definisi tentang individu ini maka akan lebih bagus mengambil rujukan dari defenisi yang telah dibuat oleh tokoh-tokoh cendekia yang populer pemikirannya.
H. Endang Saifuddin Anshari setelah mengumpulkan pengertian-pengertian tentang manusia dari beberapa tokoh baik dari Barat maupun Timur seperti, Julien Offrey de Lamettrie, Charles Robert Darwin Ernest Haeckel, Ensiklopedia Indonesia, Balise Pascal, Aristoteles, Ibn Sina Ibn Khaldun, Musthapa al-Maraghi, Wiliam ernest Hocking, C.E.M. Joad, Harold H. Titus, D.C. Mulder, J. Verkuyl, Takdir Alisyahbana, N, Drijarkara S.J., Joseph v. Kopp – Teillhard de Chardin, Soedewo P.K., R.F. Beerling, dan Franz Dahler menghasilkan kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk pencari kebenaran.
      Manusia adalah hewan yang berpikir. Berpikir adalah bertanya. Bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Mencari jawaban tentang Tuhan, alam, dan manusia. Jadi pada akhirnya; manusia adalah makhluk pencari kebenaran[12].
      Berbeda lagi dengan salah satu pemikir Timur Tengah Ali Shari’ati yang berpendapat bahwa kesimpulan besar yang dapat diambil dari filsafat tentang manusia dalam Islam adalah bahwa ia seorang makhluk dua dimensional.[13] Yang dimaksud dua dimensional ialah terdapat dua potensi di dalam diri manusia, potensi kebaikan dan potensi kejahatan. Mana di antara dua potensi tersebut yang dominan maka itulah yang akan menguasai manusia. Katanya lagi, manusia mempunyai intelektualitas yang bisa mengangkat derajatnya ke ketinggian yang paling tinggi sebagaimana kisah ketika Nabi Adam mengalahkan malaikat dan jin dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan Allah kepadanya.
      Israrul Haque menambahkan bahwa manusia, tidak disangsikan lagi, dapat mencapai derajat yang paling mulia tetapi pada saat yang sama ia dapat juga “membungkuk” sangat rendah dan bisa berada pada derajat yang serendah-rendahnya.[14] Israrul Haque memandang akan tinggi atau rendahnya derajat manusia tergantung dari nilai-nilai moral-spiritual yang terdapat padanya.
Kalau al-Qur’an mempunyai pandangan terhadap manusia sebagai berikut:
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Qs. Asy-Syam: 8)
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# bÎ) óOçFZä. Îû 5=÷ƒu z`ÏiB Ï]÷èt7ø9$# $¯RÎ*sù /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜœR §NèO ô`ÏB 7ps)n=tæ ¢OèO `ÏB 7ptóôÒB 7ps)¯=sƒC ÎŽöxîur 7ps)¯=sƒèC tûÎiüt7ãYÏj9 öNä3s9 4 É)çRur Îû ÏQ%tnöF{$# $tB âä!$t±nS #n<Î) 9@y_r& wK|¡B §NèO öNä3ã_̍øƒéU WxøÿÏÛ ¢OèO (#þqäóè=ö7tFÏ9 öNà2£ä©r& ( Nà6ZÏBur `¨B 4¯ûuqtGムNà6ZÏBur `¨B Štãƒ #n<Î) ÉAsŒör& ̍ßJãèø9$# Ÿxøx6Ï9 zNn=÷ètƒ .`ÏB Ï÷èt/ 8Nù=Ïæ $\«øx© 4 ts?ur šßöF{$# ZoyÏB$yd !#sŒÎ*sù $uZø9tRr& $ygøŠn=tæ uä!$yJø9$# ôN¨tI÷d$# ôMt/uur ôMtFt6/Rr&ur `ÏB Èe@à2 £l÷ry 8kŠÎgt/
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah menjadikan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya. dan kamu lihat bumi Ini kering, Kemudian apabila Telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Qs. Al-Haj: 5)
óOs9r& /œ3)è=øƒwU `ÏiB &ä!$¨B &ûüÎg¨B
Bukankah kami menciptakan kamu dari air yang hina[15]? (Qs. Al-Mursalat)

üÏ%©!$# z`|¡ômr& ¨@ä. >äóÓx« ¼çms)n=yz ( r&yt/ur t,ù=yz Ç`»|¡SM}$# `ÏB &ûüÏÛ
Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (Qs. As-Sajdah: 7)
çmyJ¯=tã tb$ut6ø9$#
Mengajarnya pandai berbicara. (ar-Rahman: 4)

ôs)s9ur $uZù=yör& NÍkŽÏù z`ƒÍÉYB
Dan Sesungguhnya Telah kami utus pemberi-pemberi peringatan (rasul-rasul) di kalangan mereka. (ash-Shaffat: 72)
ôô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& Nä3s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? ¢OèO !#sŒÎ) OçFRr& ֍t±o0 šcrçŽÅ³tFZs? ÇËÉÈ ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari tanah, Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Rum: 20 - 21)

      Demikian al-Qur’an menggambarkan manusia dengan segenap kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Maka dapat diberikan definisi bahwa dengan merujuk kepada ayat-ayat di atas bahwa manusia mempunyai tiga bagian dalam dirinya selaku individu, yaitu pertama, manusia terdiri dari fisik. Kedua, manusia terdiri dari akal pikiran, dan ketiga, manusia terdiri dari ruh/jiwa.
      Dari bagian fisiknya manusia tidak ada perbedaan yang substansial dengan makhluk Tuhan yang lainnya seperti binatang. Kemudian akal pikiran merupakan daya tambah manusia supaya lebih dari binatang akan tetapi tidak melebihi makhluk Tuhan seperti syetan, maka dengan adanya bagian ketiga seperti ruh/jiwa yang berasal dari bagian dari Tuhan sebagai pelengkap akan akal pikirannya membuat manusia bisa menjadi wakil Tuhan di muka bumi dan sekaligus melebihi malaikat dan syetan.
      Melihat keadaan manusia pada praksisnya sedari dulu sampai sekarang memang manusia telah menggabarkan apa yang telah diterangkan oleh ayat-ayat al-Qur’an bahwa manusia itu terkadang-kadang. Maksudnya tergantung dari dua kutub yang terdapat dalam dirinya, kutub kebaikan dan kutub kejahatan, mana yang diikuti oleh jiwanya maka akal pikiran dan fisiknya akan bekerja untuk jiwa yang sudah terkekang oleh kutub jahat tadi.
      Untuk menghindari manusia kepada condongnya kepada kutub kejahatan tadi maka manusia memerlukan kepercayaan dan pedoman dalam mengarungi hidupnya sehingga manusia tetap membutuhkan dan mengakui kekuatan eksternal atau ada sesuatu yang sangat berkuasa melebihi kekuasaan apapun yang ada, dan itu diistilahkan dengan Tuhan.
      Dengan keadaan diri manusia yang seperti itu, maka setiap manusia sudah pasti mempunyai tujuan dalam hidupnya, tujuan manusia akan terus berkutat pada tiga dimensi yang telah dipaparkan di atas tadi, namun hanya tujuan manusia yang dilandasi oleh dimensi jiwanya saja yang akan selamat di hari pembalasan.
2.      Konsep Masyarakat dalam Islam
Sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendirian, makhluk yang selalu membutuhkan antar sesamanya berkumpul untuk membentuk sebuah perkumpulan (community). Sejarah manusia pertama yaitu Nabi Adam yang hidup dalam kemewahan (syurga) yang tidak pernah mata melihatnya, telinga mendengarnya, dan terbetik dalam hati manusia setelah Adam, ditambah lagi dengan dapatnya berkomunikasi langsung dengan Tuhan, malaikat, dan Jin masih saja Adam merasa kesepian sehingga diciptakanlah Hawa dari jenisnya yang kemudian menemaninya.
Hal tersebut tidak saja terjadi pada Adam dan Hawa namun sampai sekarang masih terjadi pada setiap individu manusia bahwa tidak ada yang bisa hidup sendirian. Kisah Adam dan Hawa yang menjadi awal mula perkumpulan individu dengan individu. Setelah berkumpulnya individu-individu maka terbentuklah perkumpulan, dan perkumpulan inilah yang dinamakan masyarakat. Karena masyarakat terdiri dari individu-individu yang mempunyai tujuan maka masyarakat juga haruslah mempunyai tujuan yang tidak berlawanan dengan tujuan individu tadi, agar tidak terjadinya kerancuan dalam masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang mempunyai tujuan. Apabila suatu masyarakat tidak terarah dalam tujuannya maka banyak dampak negatif yang akan terjadi dan merusak tatanan masyarakat yang baik.
Oleh karena masyarakat terdiri dari individu sudah tentu tuntutan dari tujuan masing-masing individu akan membentuk suatu masyarakat. Dalam hal ini Islam sebagai agama individu dan masyarakat mempunyai konsep yang jelas untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa manusia ialah makhluk yang kreatif, maka dengan kekreatifannya dalam masyarakat akan terjadi saling mempengaruhi antar sesamanya, siapa diantara mereka yang paling kuat tiga dimensinya akan diikuti sehingga timbullah suatu tradisi atau adat budaya yang mendukung terhadap tujuan secara individu dan masyarakat tadi. Tradisi tidak akan bisa jauh oleh pengaruh agama, peradaban, dan budaya sebagaimana Satori Ismail dkk. dalam bukunya Islam Moderat membahas Hadharah (Peradaban), Tsaqafah (Kebudayaan) dan Din (Agama) ketiganya tidak terpisah.
a.       Peradaban (Hadharah) Masyarakat Islam
Untuk lebih jelasnya mengenai peradaban penulis kutip beberapa pemaknaan peradaban oleh tokoh-tokoh kontemporer seperti Arnold Toynbee lewat Israrul Haque menyatakan bahwa peradaban adalah sebuah pelayaran dan bukan sebuah pelabuhan. Ia adalah sebuah pergerakan bukan sebuah kondisi. Karenanya, peradaban menjadi sebuah perjuangan yang tak terbatas kaitannya dengan ruang dan waktu.[16]
Pandangan Bertrand Russel mencakup aspek humanis atau pandangan spiritual. Bertrand Russel berpendapat lewat Israrul Haque bahwa kehidupan manusia yang sesungguhnya bukanlah urusan mengisi perut dan membajui badannya, tetapi berada pada seni, pada pikiran dan cinta, pada penciptaan dan kontemplasi keindahan dan pada pengertian-pengertian alamiah tentang dunia.[17]
Pandangan Bertrand Russel sealur dengan pandangan ulama Timur Tengah, yaitu Sayyid Qutbh yang mempunyai pandangan bahwa peradaban ialah sesuatu yang dapat memberikan manusia berupa ideologi, persepsi, prinsip-prinsip dan values (nilai-nilai) yang baik untuk mengarahkan manusia dan memberikan peluang demi perkembangan dan kemajuan yang hakiki yakni bagi nilai-nilai kehidupan manusia.[18]
Khan, arkeolog dari Pakistan melihat peradaban dari pandangan material yang agak berlawanan dengan pendapat Bertrand Russel di atas, pandangan yang berahir pada materi. Khan  berpendapat lewat Israrul Haque bahwa peradaban adalah sesuatu yang dibuat oleh manusia, hasil pencapian kemakmuran material dalam merespon perluasan konsep-konsep kehidupan masyarakat yang berkembang dalam pikiran-pikiran manusia.[19]
Pandangan yang lain bahwa seolah-olah menyamakan manusia dengan binatang, sehingga setelah manusia sampai kepada tahap peradaban yang diperjuangkannya maka kelakuan yang diperlihatkan seperti tingkah-tingkah yang diperlihatkan binatang, Cuma perbedaanya manusia melakukannya rapi dan teratur karena dibantu oleh akal pikirannya. Karena manusia terkadang akan terkungkung oleh lingkungannya yang tidak bisa ia kalahkan. Sebagaimana Israrul Haque kemukakan bahwa manusia dalam keadaannya yang semula secara esensial adalah ciptaan dari kebiasaan-kebiasaan dan kapabilitas-kapabilitas yang diperoleh dalam lingkungan.[20]
b.      Kebudayaan (Tsaqafah) Masyarakat Islam
Tsaqofah dalam bahasa Arab berarti: al-Hidzqu wal-fithnah (kemahiran dan kepandaian), (tsaqufa) berarti juga cepat paham atau cerdas, meluruskan moral. Dalam al-Qur’an kata Tsaqofa mempunyai beberapa arti, antara lain: menjumpai, mengetahui, menangkap (al-Nisa’: 91; al-Ahzab: 61; al-Mumtahanah:2).[21]
c.       Agama (Din)
            Agama merupakan salah satu faktor yang membentuk kebudayaan dan peradaban. Jadi agama sudah inklud sebagai faktor pembentuk suatu masyarakat. Peradaban dan budaya suatu masyarakat akan tercermin oleh agama apa yang diyakini, sebagaimana Caknur mengatakan bahwa pada zaman kekuasaan Islam, bahasa Arab praktis menjadi bahasa semua bangsa yang terbebaskan oleh Islam, kecuali Persia dan daerah pengaruhnya, ke timur sampai Bangladesh dan ke barat sampai Turki.[22]
            Artinya dari bahasa kebudayaan dan peradaban juga akan terwujud karena lewat bahasalah ilmu pengetahuan dipelajari oleh manusia. Benar apa yang dikemukakan Endang Saefuddin Anshari bahwa agama dapat diibaratkan sebagai suatu gedung besar perpustakaan kebenaran. Siapa saja yang dapat memasukinya melalui pintunya. Pintunya dapat dilalui bila terbuka. Pintunya terbuka bila tidak terkunci. Anak kunci pembuka pintu gedung tersebut bukanlah sembarangan, melainkan anak kunci yang sangat istimewa. Anak kunci yang istimewa itu tiada lain ialah: Iman.[23]




C.     NILAI-NILAI ISLAM DALAM BERHUBUNGAN
1.      Hubungan Manusia Dengan Tuhan
Hubungan manusia dengan Tuhan (hablum min Allah) ialah hubungan pencipta dengan yang dicipta, hubungan yang memberi dengan yang diberi, hubungan yang maha kaya dengan hubungan yang sangat membutuhkan (fakir). Dalam istilah agama berhubungan dengan Tuhan dinamakan ibadah, sebagaimana Sayyid Qutbh mendefinisikan bahwa kata “ibadah” biasanya dipakai untuk ritual-ritual peribadatan dan untuk interaksi yang terjadi antara seorang hamda dan Tuhan, sebagai lawan kata “mu’amalah”, yang biasanya dipakai untuk interaksi yang berlangsung antara manusia dengan manusia lainnya.
Ibadah dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia kepada Tuhan, begitu juga dalam agama-agama lain memperlihatkan ritual-ritual yang termasuk dalam istilah ibadah seperti pengertian di atas. Islam lewat kitab suci al-Qur’an menyatakan bahwa “dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”.[24]
Bila ditelaah lebih mendalam penegasan Tuhan lewat ayat di atas, dalam bahasa Arab kata “al-nas” dalam surat tersebut mempunyai arti yang ditunjukkan maksudnya kepada semua manusia secara keseluruhan. Jadi penegasan tersebut, bukan hanya untuk orang yang beragama Islam saja yang disuruh untuk beribadah oleh Tuhan, namun semua manusia yang ada di muka bumi telah diwajibkan beribadah kepada Tuhan.
Ibadah menurut pandangan Islam tidak sebatas pada ritual-ritual semata (ibadah mahdoh) yang dilakukan pada saat-saat tertentu dan di tempat-tempat tertntu pula. Namun di semua waktu dan di semua tempat ibadah bisa dilakukan dengan segala bentuk kondisi ruang dan waktu yang menyertai saat itu. Bertemu dengan orang lain kemudian mengucapkan selam, memperliahatkan senyuman, dan akhlak yang terpuji merupakan ibadah dalam Islam. Dari menyingkirkan duri di jalanan sampai bersujud di dalam masjid merupakan ibadah.
2.      Hubungan Manusia Dengan Sesama
      Hubungan manusia dengan sesamanya juga seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa termasuk dalam ibadah. Lebih luas dari itu, manusia yang menghuni bumi dalam kenyataannya tidak beragama satu. Dengan demikian telah terbentuk kelompok-kelompok agama sebagaimana banyaknya agama yang terdapat seperti yang ada sekarang ini. Agama yang diakui di Indoneisa saja enam agama, belum lagi agama-agama yang di luar Indonesia dengan segala macam bentuknya atau dari animisme sampai agama langit (samawi).
      Islam menggambarkan ada dua bentuk hubungan kepada sesama, yaitu hubungan berdasarkan seagama (ukhuwah Islamiyah) dan hubungan berdasarkan sesama manusia (ukhuwah insaniah). Seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Bahwa dalam berhubungan dengan sesama yang seagama harus dinaungi oleh syari’at Islam yaitu aturan-aturan-aturan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Hadis menjadi pedoman.
      Sedangkan berhubungan dengan sesama yang tidak seagama juga tidak bisa terlepas dari mencontoh kepada Rasulullah SAW ketika berada di Madinah yang beragam agama yang ada serperti Yahudi dan Nasrani yang sudah duluan ada di Madinah. Akan tetapi kesepakatan bersama untuk menjalani hidup berdampingan menghasilkan piagam Madinah yang mengatur hubungan atas nama masyarakat secara umum.
3.      Hubungan Manusia Dengan Alam
Hubungan manusia dengan alam ialah bisa dianalogikan seperti seorang bos yang mempunyai rumah besar kemudian ada pesuruhnya yang diminta menjaga dan merawat rumah tersebut. Tuhan sebagai pemilik rumah, manusia sebagai kepercayaan Tuhan untuk menjaga dan merawat rumah, dan rumah sendiri sebagai alam. Sebelum manusia diciptakan malaikat berdialog dengan Tuhan sebagaimana ayat di bawah ini:
ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. Mereka berkata, mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji Engkau dan menyucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya  Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.[25]
Jadi manusia dengan alam mempunyai perbedaan yang nyata bahwa manusia lebih tinggi dari pada alam. Manusia menjadi wakil Tuhan (khalifah) sedangkan alam diciptakan Tuhan untuk manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setelah manusia terlempar dari syurga akibat kesalahannya melanggar aturan yang sudah dibuat Tuhan.


BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Islam merupakan agama universal yang terbutkti bahwa di dalam perjanjian lama dan perjanjian baru juga telah disebutkan bahwa akan ada nabi yang diutus setlelah nabi Musa As. dan nabi Isa As. Yaitu nabi Muhammad SAW. Sedangkan di dalam al-Qur’an tidak ada disebutkan akan ada nabi setelah nabi Muhammad atau akan ada lagi kitab yang turun setelah al-Qur’an diturunkan.

2.      Dalam kehidupan sosial Islam juga mengatur kehiduapan bermasyarakat sampai bernegara yang berkesesuan dengan tujuan individu manusia. Dari bertauhid sampai kepada peradaban yang maju akan terlaksana bialamana apa yang telah digariskan seperti nabi Muhammad contohkan akan mengantarkan umat manusia kepada keselamatan hidup di dunia.

3.      Konsep berhubungan dalam Islam terbagi menjadi dua, yaitu tidak terbatas pada ruang dan waktu dan terbatas pada ruang dan waktu. Hubungan yang tidak terbatas oleh rauang dan waktu ialah hubungan yang bersifat transendental, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dan segala bentuk yang gaib-gaib. Adapun hubungan yang terbatas oleh ruang dan waktu ialah hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam, bahwa hubungannya dengan sesama dan alam hanya dapat dilakukan ketika sedang menjalani kehiduapannya.


B.     PENUTUP
Dalam penulisan makalah ini penulis menulisnya dengan secermat-cermatnya namun karena penulis juga termasuk manusia yang tidak terlepas dari salah dan lupa maka jika terdapat kekeliruan baik yang berbentuk salah ketik atau salah makna atau maksud mohon segera diberikan kritik yang membangun. Demikian yang penulis bisa kerjakan, dan semoga kalimat sederhana ini bisa memberikan sumbangan yang bermakna kepda pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Adib Bisri, Kamus Indonesia Arab-Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Achmad Satori ismail dkk, Islam Moderat Menebar Islam Rahmatan Lil Alamin, Jakarta Timur: Pustaka Ikadi, 2007.
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Bachrun Rif’i, Filsafat Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Departemen Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahan Al-Jumanatul Ali, Bandung: CV. J-ART, 2005.
Endang Saefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat & Agama, Surabaya: PT Bina Ilmu Offset.
Israrul Haque, Menuju Renaissance Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation To Compilation A Comparative Study With the Old and New Testaments, Jakarta: Gema Insani, 2002.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin & Peeradaban, Jakarta Timur: PT Dian Rakyat, 2008.
Sayyid Qutbh, Fiqih Pergerakan Aku Wariskan Untuk kalian, Yogyakarta: Pro-U Media, 2007.



[1] Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007, h. 3.
[2] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002, h. 3.
[3] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya al-Jumanatul Ali, Bandung: CV. J-ART, 2005, h. 278. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S. an-Nahl: 90).

[4] Adib Bisri, Munawwir AF, Kamus al-Bisri Arab Indonesia-Indonesia Arab, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999, h. 339
[5] Agama yang datang dengan Nabi Muhammad SAW.
[6] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya al-Jumanatul Ali, h. 109.
[7] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah, Ringkasan Ibnu Katsir, Jilid 4, Jakarta: Gema Insani, 2000, h. 1012.
[8] Ibid, h. 1012.
[9] M.M. al-A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation To Compilation A Comparative Study with the Old and New Testaments, Jakarta: Gema Insani, 2005, h. 293.
[10] [1] Maksudnya: dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.
[11] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya al-Jumanatul Ali,  hlm. 171.
[12] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat & Agama, (Bandung: PT. Bina Ilmu, 2009), hlm. 16.
[13] Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 14
[14] Israrul Haque, Menuju Renaissance Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 119.
[15]   yang dimaksud dengan air yang hina ialah air mani.

[16] Israrul haque, Menuju Renaissance Islam, hlm. 299
[17] Ibid, hlm. 300.
[18] Achmad Satori Ismail, Islam Moderat, Menebar Islam Rahmatan Lil Alamin, (Jakarta Timur: Pustaka Ikadi, 2007), hlm. 196.
[19] Ibid, hlm. 302.
[20] Ibid, hlm. 305.
[21] Achmad Satori Ismail, op.cit, hlm. 198.
[22] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta Timur: PT Dian Rakyat, 2008), hlm. 544.
[23] Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat & Agama, hlm. 140-141
[24] Qs. Al-Zariat: 56
[25] Qs. Al-baqarah: 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar