Kamis, 23 Mei 2013

HIKMAH SALAM; MENEBAR KASIH SAYANG



Terhitung sampai hari ini kita sudah memasuki hari kesepuluh terakhir bulan Ramadhan, yang mana di hari kesepuluh Allah menginformasikan lewat nabi-Nya kabar gembira bagi umat Islam yang melaksanakan puasa tentang diangkatnya siksa api neraka (itkumminannar) setelah sebelumnya hari sepuluh pertama pengampunan (magfirah) dan hari sepuluh kedua kasih sayang Allah (rahmah). Namun pengangkatan dari siksa neraka ini tidak akan diberikan jika puasanya di  diwarnai dengan permusuhan, pertikaian, sampai saling bunuh membunuh. Image puasa bagi pelaksanana seharusnya memperlihatkan ketulusan dan keikhlasan dalam melaksanakannya untuk mendapat predikat takwa dari Allah[1]. Sebagaimana takwa menurut hadis Nabi saw: “ketakwaan itu di sini (yakni dalam hati)”. Dan beliau menunjuk ke arah dadanya[2]. Jika hati sudah bertakwa maka seluruh anggota kedirian pun akan mengikuti. Sebaliknya jika hati belum bertakwa maka yang akan memerintah adalah perut atau yang dibawah perut.
Seorang pemikir barat Marks berkesimpulan bahwa manusia diperintah oleh kenginan perutnya, dalam hidupnya manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan perutnya, tak heran banyak orang saling bunuh gara-gara recehan. Pemikir yang datang kemudian, Freud mempunyai kesimpulan bahwa manusia diperintah oleh keinginan seksual. Perbutan dan tindakannya akan senantiasa berupaya memenuhi kebutuhan seksnya. Kemudian al-Ghazali ulama ternama Islam membenarkan hasil pemikiran Marks dan Freud tadi akan tetapi al-Ghazali menambahkan bahwa manusia tidak hanya di setir oleh perut dan di bawah perut saja namun masih ada akal budi yang terdapat dalam hati. Pendapat Al-Ghazali ini disandarkan pada salah satu hadis nabi yang mengatakan … ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika baik, baiklah jasad seluruhnya, jika ia rusak, rusaklah jasad seluruhnya. Ingatlah itu ialah hati.[3] Sekarang kita tinggal memilih apakah menjadi pengikut Marksisme, Freudian atau pengikut nabi Muhammad Saw.
Dalam keseharian kita sebagai umat muslim ucapan salam sudah tidak asing lagi terdengar di setiap kali bertemu dengan sesama muslim sudah pasti kata pertama yang terucap. Melihat kata salam yang dipraktikkan sedari dulu sampai sekarang sudah menjadi budaya yang kuat mengakar pada kehidupan masyarakat. Bayangkan semenjak nabi Muhammad berhasil menjayakan Islam sampai dengan saat ini ucapan salam terus dilaksanakan, terhitung sudah 1431 tahun lamanya ucapan salam hidup dan sudah mengakar kuat kepada umat Islam sehingga menjadi tradisi yang tidak bisa dikalahkan oleh ucapan sapaan yang datang kemudian. Namun Kalimah salam bila melihat keadaan kekenian menunjukkan sudah menjadi tradisi semata tanpa efek makna dari pemberi salam maupun penerima/penjawab salam. Menilai dari pemaknaannya ucapan salam seolah-olah sejajar dengan kalimat sapaan seperti hai, hallo, pagi, dan lain-lain. Coba perhatikan fenomena kehidupan manusia dari tingkat kampung sampai Negara. Di tingkat kampong saja masih banyak terdapat kejanggalan seperti tidak saling sapa antar warga sampai perang tetangga atau perang antar kampung. Apalagi di tingkat Negara yang lebih luas dan banyak ragam corak adat budaya seperti Indonesia yang semakin mempersulit penegakan Negara seperti yang diterangkan oleh ibnu khaldun dalam mukaddimahnya[4].
Ketidak Sadaran Berfikir Dalam Tindakan
Ketidak sadaran berpikir oleh manusia terkadang terjadi bila melihat cara hidup seperti menjalani hidup berdasarkan budaya yang sudah ada turun temurun atau yang baru diada-adakan tanpa ada kritisasi terhadap budaya yang sedang dijalani apakah budaya itu sesuai dengan agama yang diyakini. Contoh kecil seperti ucapan salam. Dalam menggunakan standarisasi salam ini saja orang perorang akan terbagi menjadi beberapa macam seperti: pertama, mengucapkan salam pada setiap kali bertemu dengan orang tetapi salam yang ia ucapkan itu tidak ditahu maknanya, pengucapan salam seperti ini masih banyak terdapat di sekitar kita. Individu semacam ini menandakan ketidak mauan seseorang untuk mengetahui ucapannya. Orang yang seperti ini sangat mudah terombang ambing oleh keadaan perkembangan lingkungan karena ketidak matangan berpikirnya. Dia tidak sadar atas kebodohan yang ia lakukan dan dipertahankan sampai ajal menjemputnya. Kedua, orang yang mengucapkan salam, mengerti artinya namun tidak dimaknakan. Keislaman seperti ini juga belum kuat masih kalah oleh kepentingan. Banyak pertengkaran dan perkelahian terjadi tiada lain disebabkan karena sama-sama menginginkan sesuatu yang sama, bila ini tidak disadarinya dan diselesaikan dengan berkomunikasi yang baik maka akan terjadi perebutan sehingga saling singkirkanpun terjadi. Seperti kisah nenek moyang manusia Qabil dan Habil.
Banyak contoh real yang dapat kita amati di sekeliling. Dalam kehidupan anak muda sudah tidak asing lagi antar pemuda berkelahi gara-gara permasalahan wanita, dalam dunia perekonomian banyak yang saling menjatuhkan saingannya dengan cara tidak sehat, dalam dunia politik banyak yang saling menjelekkan saingan dengan mengungkap kesalahan/aib atau menebarkan cerita yang berlebihan. Semua hal tersebut menjadi potensi konflik yang sering berakhir dengan pertumpahan darah. Ketidak sadaran manusia semacam ini yang terus ada sampai manusia terkhir menjadi penyakit bawaan keturunan.
Makna Salam Dan Efeknya
Kata salam berasal dari bahasa Arab yang akar katanya salama-yusallimu-salaman yang mempunyai arti keselamatan sehingga bila seseorang mengucapkan salam kepada rekannya dengan ucapan assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh maka artinya keselamatan untukmu sekalian, serta rahmat kasih Allah dan berkahnya menyertaimu. Kata ini selalu kita ucapkan di acara-acara formal sampai pada pertemuan di jalan dengan sesama. Namun apa yang terjadi bila ucapan salam tadi tidak dibarengi dengan pengetahuan akan makna dan kesadaran? Contoh-contoh hubungan jelek seperti di ataslah yang akan terjadi. Mengucapkan atau mendoakan orang yang sedang ditemui supaya selamat tetapi cara bergaul yang dipraktikkan tidak sesuai.
Coba kita perhatikan makna di balik ucapan salam, setidaknya ada tiga doa yang kita berikan ketika mengucapkan kata salam tersebut, selamat, kasih Allah dan berkahnya. Oleh karenanya Wajib menjawab bagi orang yang mendengarnya minimal dengan mendoakan kembali seperti doa yang telah diberikan kepadanya. Eksistensi ucapan salam ini meminta syarat dua subjek sekaligus yaitu pemberi dan penjawab. Aturan yang diterangkan dalam Islam; Kewajiban penjawab terukur lewat ucapan yang diberikan oleh si pemberi. Jika pemberi mengucapkan asslamu’alaikum warahmatullah wabrakatuh penjawab juga harus menjawab minimal seperti itu, kalau pemberi hanya mengucapkan assalamu’alaikum, si penjawab dianjurkan menjawabnya lebih panjang.
Hikmah di balik aturan ucapan salam di atas mengandung makna bahwa bila seseorang yang lebih dahulu datang menemui haruslah disambut lebih baik dari caranya datang menemui. Tamu yang datang tanpa membawa kopi atau teh misalnya tapi tuan rumah diwajibkan menjamu tamunya dengan baik sehingga kopi atau the pun dihidangkan. Satu kebaikan yang diberikan oleh tamu, dua kebaikan yang harus diberikan oleh tuan rumah.
Syekh Abdussamad Palimbang dalam kitabnya Hidayatussalikin menerangkan bahwa pergaulan manusia dapat di kategorikan menjadi tiga. pertama, sahabat karib. Kedua, orang yang dikenal, ketiga, orang yang tidak dikenal. Dengan adanya tiga macam bentuk hubungan ini bermacam pula cara yang harus diterapkan sesuai dengan kedudukan hubungan tersebut namun penekanan Syekh Abdussamad yang sangat perlu sakali dijaga hanyalah hati supaya jangan sampai merasa lebih baik dari orang lain.
Prinsip Dialog Sebagai Prinsip Umum Berinteraksi
Berinteraksi yang merupakan lanjutan dari salam dapat dilanjutkan dengan menerapkan prinsip dialog yang dapat dijadikan aturan umum dalam berinteraksi. Interaksi sudah include di dalamnya ucapan salam sebagai konsekwensi dari ucapan salam begitu juga dengan dialog menjadi pilihan dalam berinteraksi di antara pilihan lain. Adapaun prinsip dialog tersebut seperti hasil kajian di LPP Unram yang disampaikan oleh Dr. H. Husni Muadz yaitu: penutur dalam berinteraksi haruslah menyampaikan fakta atau kebenaran, tidak mendominasi pembicaraan, tidak defensive (merasa paling benar) membicarakan sesuatu, merasa sama (kesetaraan).
Pendengar seperti halnya penerima salam haruslah memberikan suatu yang lebih dalam berinteraksi seperti: menghilangkan struktur yang ada dalam pikirannya, memahami struktur pikiran si penutur, tidak sibuk menyusun sanggahan, argument, kelemahan fakta atau kebenran yang disampaikan penutur, dan merasa setara juga.


[1] Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183
[2] H.R. Muslim
[3] H.R. Muslim
[4] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, hal. 201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar