Terhitung sampai
hari ini kita sudah memasuki hari kesepuluh terakhir bulan Ramadhan, yang mana
di hari kesepuluh Allah menginformasikan lewat nabi-Nya kabar gembira bagi umat
Islam yang melaksanakan puasa tentang diangkatnya siksa api neraka (itkumminannar)
setelah sebelumnya hari sepuluh pertama pengampunan (magfirah) dan hari
sepuluh kedua kasih sayang Allah (rahmah). Namun pengangkatan dari siksa
neraka ini tidak akan diberikan jika puasanya di diwarnai dengan permusuhan, pertikaian,
sampai saling bunuh membunuh. Image puasa bagi pelaksanana seharusnya
memperlihatkan ketulusan dan keikhlasan dalam melaksanakannya untuk mendapat
predikat takwa dari Allah[1].
Sebagaimana takwa menurut hadis Nabi saw: “ketakwaan itu di sini (yakni
dalam hati)”. Dan beliau menunjuk ke arah dadanya[2].
Jika hati sudah bertakwa maka seluruh anggota kedirian pun akan mengikuti.
Sebaliknya jika hati belum bertakwa maka yang akan memerintah adalah perut atau
yang dibawah perut.
Seorang pemikir
barat Marks berkesimpulan bahwa manusia diperintah oleh kenginan perutnya,
dalam hidupnya manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan perutnya, tak heran
banyak orang saling bunuh gara-gara recehan. Pemikir yang datang kemudian,
Freud mempunyai kesimpulan bahwa manusia diperintah oleh keinginan seksual.
Perbutan dan tindakannya akan senantiasa berupaya memenuhi kebutuhan seksnya.
Kemudian al-Ghazali ulama ternama Islam membenarkan hasil pemikiran Marks dan Freud
tadi akan tetapi al-Ghazali menambahkan bahwa manusia tidak hanya di setir oleh
perut dan di bawah perut saja namun masih ada akal budi yang terdapat dalam
hati. Pendapat Al-Ghazali ini disandarkan pada salah satu hadis nabi yang
mengatakan … ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika baik,
baiklah jasad seluruhnya, jika ia rusak, rusaklah jasad seluruhnya. Ingatlah
itu ialah hati.[3]
Sekarang kita tinggal memilih apakah menjadi pengikut Marksisme, Freudian atau
pengikut nabi Muhammad Saw.
Dalam keseharian
kita sebagai umat muslim ucapan salam sudah tidak asing lagi terdengar di
setiap kali bertemu dengan sesama muslim sudah pasti kata pertama yang terucap.
Melihat kata salam yang dipraktikkan sedari dulu sampai sekarang sudah menjadi
budaya yang kuat mengakar pada kehidupan masyarakat. Bayangkan semenjak nabi
Muhammad berhasil menjayakan Islam sampai dengan saat ini ucapan salam terus
dilaksanakan, terhitung sudah 1431 tahun lamanya ucapan salam hidup dan sudah
mengakar kuat kepada umat Islam sehingga menjadi tradisi yang tidak bisa
dikalahkan oleh ucapan sapaan yang datang kemudian. Namun Kalimah salam bila
melihat keadaan kekenian menunjukkan sudah menjadi tradisi semata tanpa efek
makna dari pemberi salam maupun penerima/penjawab salam. Menilai dari
pemaknaannya ucapan salam seolah-olah sejajar dengan kalimat sapaan seperti
hai, hallo, pagi, dan lain-lain. Coba perhatikan fenomena kehidupan manusia
dari tingkat kampung sampai Negara. Di tingkat kampong saja masih banyak
terdapat kejanggalan seperti tidak saling sapa antar warga sampai perang
tetangga atau perang antar kampung. Apalagi di tingkat Negara yang lebih luas
dan banyak ragam corak adat budaya seperti Indonesia yang semakin mempersulit penegakan
Negara seperti yang diterangkan oleh ibnu khaldun dalam mukaddimahnya[4].
Ketidak
Sadaran Berfikir Dalam Tindakan
Ketidak sadaran
berpikir oleh manusia terkadang terjadi bila melihat cara hidup seperti
menjalani hidup berdasarkan budaya yang sudah ada turun temurun atau yang baru
diada-adakan tanpa ada kritisasi terhadap budaya yang sedang dijalani apakah
budaya itu sesuai dengan agama yang diyakini. Contoh kecil seperti ucapan
salam. Dalam menggunakan standarisasi salam ini saja orang perorang akan
terbagi menjadi beberapa macam seperti: pertama, mengucapkan salam pada setiap
kali bertemu dengan orang tetapi salam yang ia ucapkan itu tidak ditahu
maknanya, pengucapan salam seperti ini masih banyak terdapat di sekitar kita.
Individu semacam ini menandakan ketidak mauan seseorang untuk mengetahui
ucapannya. Orang yang seperti ini sangat mudah terombang ambing oleh keadaan
perkembangan lingkungan karena ketidak matangan berpikirnya. Dia tidak sadar
atas kebodohan yang ia lakukan dan dipertahankan sampai ajal menjemputnya.
Kedua, orang yang mengucapkan salam, mengerti artinya namun tidak dimaknakan.
Keislaman seperti ini juga belum kuat masih kalah oleh kepentingan. Banyak pertengkaran
dan perkelahian terjadi tiada lain disebabkan karena sama-sama menginginkan sesuatu
yang sama, bila ini tidak disadarinya dan diselesaikan dengan berkomunikasi
yang baik maka akan terjadi perebutan sehingga saling singkirkanpun terjadi.
Seperti kisah nenek moyang manusia Qabil dan Habil.
Banyak contoh
real yang dapat kita amati di sekeliling. Dalam kehidupan anak muda sudah tidak
asing lagi antar pemuda berkelahi gara-gara permasalahan wanita, dalam dunia
perekonomian banyak yang saling menjatuhkan saingannya dengan cara tidak sehat,
dalam dunia politik banyak yang saling menjelekkan saingan dengan mengungkap
kesalahan/aib atau menebarkan cerita yang berlebihan. Semua hal tersebut
menjadi potensi konflik yang sering berakhir dengan pertumpahan darah. Ketidak
sadaran manusia semacam ini yang terus ada sampai manusia terkhir menjadi
penyakit bawaan keturunan.
Makna Salam
Dan Efeknya
Kata salam
berasal dari bahasa Arab yang akar katanya salama-yusallimu-salaman yang
mempunyai arti keselamatan sehingga bila seseorang mengucapkan salam kepada
rekannya dengan ucapan assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh maka
artinya keselamatan untukmu sekalian, serta rahmat kasih Allah dan berkahnya
menyertaimu. Kata ini selalu kita ucapkan di acara-acara formal sampai pada
pertemuan di jalan dengan sesama. Namun apa yang terjadi bila ucapan salam tadi
tidak dibarengi dengan pengetahuan akan makna dan kesadaran? Contoh-contoh
hubungan jelek seperti di ataslah yang akan terjadi. Mengucapkan atau mendoakan
orang yang sedang ditemui supaya selamat tetapi cara bergaul yang dipraktikkan
tidak sesuai.
Coba kita
perhatikan makna di balik ucapan salam, setidaknya ada tiga doa yang kita
berikan ketika mengucapkan kata salam tersebut, selamat, kasih Allah
dan berkahnya. Oleh karenanya Wajib menjawab bagi orang yang
mendengarnya minimal dengan mendoakan kembali seperti doa yang telah diberikan
kepadanya. Eksistensi ucapan salam ini meminta syarat dua subjek sekaligus
yaitu pemberi dan penjawab. Aturan yang diterangkan dalam Islam; Kewajiban
penjawab terukur lewat ucapan yang diberikan oleh si pemberi. Jika pemberi
mengucapkan asslamu’alaikum warahmatullah wabrakatuh penjawab juga harus
menjawab minimal seperti itu, kalau pemberi hanya mengucapkan assalamu’alaikum,
si penjawab dianjurkan menjawabnya lebih panjang.
Hikmah di balik
aturan ucapan salam di atas mengandung makna bahwa bila seseorang yang lebih
dahulu datang menemui haruslah disambut lebih baik dari caranya datang menemui.
Tamu yang datang tanpa membawa kopi atau teh misalnya tapi tuan rumah
diwajibkan menjamu tamunya dengan baik sehingga kopi atau the pun dihidangkan.
Satu kebaikan yang diberikan oleh tamu, dua kebaikan yang harus diberikan oleh
tuan rumah.
Syekh Abdussamad
Palimbang dalam kitabnya Hidayatussalikin menerangkan bahwa pergaulan manusia
dapat di kategorikan menjadi tiga. pertama, sahabat karib. Kedua, orang yang
dikenal, ketiga, orang yang tidak dikenal. Dengan adanya tiga macam bentuk
hubungan ini bermacam pula cara yang harus diterapkan sesuai dengan kedudukan
hubungan tersebut namun penekanan Syekh Abdussamad yang sangat perlu sakali
dijaga hanyalah hati supaya jangan sampai merasa lebih baik dari orang lain.
Prinsip
Dialog Sebagai Prinsip Umum Berinteraksi
Berinteraksi
yang merupakan lanjutan dari salam dapat dilanjutkan dengan menerapkan prinsip
dialog yang dapat dijadikan aturan umum dalam berinteraksi. Interaksi sudah
include di dalamnya ucapan salam sebagai konsekwensi dari ucapan salam begitu
juga dengan dialog menjadi pilihan dalam berinteraksi di antara pilihan lain.
Adapaun prinsip dialog tersebut seperti hasil kajian di LPP Unram yang
disampaikan oleh Dr. H. Husni Muadz yaitu: penutur dalam berinteraksi haruslah
menyampaikan fakta atau kebenaran, tidak mendominasi pembicaraan, tidak
defensive (merasa paling benar) membicarakan sesuatu, merasa sama (kesetaraan).
Pendengar seperti halnya penerima salam haruslah
memberikan suatu yang lebih dalam berinteraksi seperti: menghilangkan struktur
yang ada dalam pikirannya, memahami struktur pikiran si penutur, tidak sibuk
menyusun sanggahan, argument, kelemahan fakta atau kebenran yang disampaikan
penutur, dan merasa setara juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar