Setiap datangnya bulan
puasa yang mulia, ayat suci al-Qur'an yang selalu keluar dari setiap lisan
penceramah atau lisan para qorik ketika melantunkannya ialah “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”[1]. Di
masjid, di tempat-tempat pengajian selalu ramai dengan uraian hikmah dari ayat
tersebut.
Sungguh agung tujuan
Alloh mewajibkan puasa untuk dilaksanakan manusia. Keagungan yang bisa
menempatkan manusia yang berasal dari air yang hina[2], kepada
tempat yang suci mulia bersama Alloh di taman kenikmatan (jannatun na'im).
Selain itu banyak ayat
suci al-Qur'an dan hadis nabi yang menerangkan tentang kemulyaan bulan Romadhon
yang akan didapatkan oleh orang-orang beriman yang melaksanakan ibadah puasa,
yaitu berupa berita gembira seperti gambaran balasan baik dan berita buruk
seperti siksaan terhadap orang-orang yang tidak melaksanakan ibadah puasa juga
turut mewarnai keramaian yang penuh dengan hikmah tersebut.
Namun bagaimana pun
banyaknya hikmah yang terdapat dalam bulan puasa Romadhon tentu itu semua
tidaklah akan diberikan secara cuma-cuma oleh Allah SWT seperti menurunkan
hujan dari langit yang bisa dirasakan nikmatnya oleh setiap orang, yang baik atau pun jahat. Puasa hanya akan
dapat direngkuh kenikmatannya oleh orang-orang yang mampu mengendalikan semua
unsur diri kemudian disucikan dalam wadah pembakaran yang disebut Romadhon.
Oleh sebab itu, Imam
Ghozali telah menyatakan tentang beberapa peringkat tingkatan orang-orang
beriman yang menjalankan ibadah puasa, yaitu puasanya orang awam,
puasanya orang khawas dan puasanya orang khawasul khawas. Lebih
lanjut Imam Ghozali menerangkan bahwa kebanyakan puasa yang dijalankan oleh
orang-orang ialah puasa awam.
Melihat pernyataan imam
ghazali tersebut, bila dibandingkan dengan kenyataan pada bulan-bulan puasa
sebelumnya memang benar seperti itu. Kebanyakan dari “kita” mungkin termasuk
dalam kategori orang-orang yang “stagnan”, sudah puluhan tahun umur dan terus
melaksanakan puasa tetapi tidak ada perubahan dalam diri yang menunjukkan bahwa
diri ini telah bertakwa yang tercermin pada sikap kedewasaan yang memiliki
sifat; 1) khusuk dalam sholat, 2) menjauhkan diri dari perbuatan dan peerkataan
yang tidak berguna, 3) menunaikan zakat, 4) menjaga kemaluan, 5) tidak melampui
batas, 6) memelihara amanat dan janjinya, 7) memelihara sholatnya[3].
Al-Qur'an telah
menerangkan bahwa Allah SWT tidak akan merubah suatu kaum apabila ia tidak
merubah dirinya sendiri. Begitu pula dengan buku-buku ilmiah yang membahas
tentang manusia bahwa terdapat unsur IQ, EQ, dan SQ yang kemudian oleh Ari
Ginanjar digabungkan menjadi ESQ. Potensi yang dapat digunakan dan dilejitkan
dari kondisi sebelumnya yang terbelakang kepada kondisi yang lebih maju atau
lebih baik dari sebelumnya. Hal serupa juga sangat ditekankan oleh khalifah ke
empat Imam Ali Ra bahwa apabila hari ini sama dengan hari kemarin maka
tergolong rugi.
Oleh karena itu, setiap
insan yang tidak mahu digolongkan menjadi golongan orang-orang yang merugi
haruslah progressif dalam mengarungi kehidupan, berbentuk apapun itu.
Begitu juga dengan ibadah puasa pada bulan Romadhon harus lebih maju dari puasa
bulan Romadhon sebelumnya. Artinya tingkat ketaatan masing-masing insan tetap
bertambah ibarat menghitung angka atau ibarat berjalan yang semakin lama
semakin jauh dari tempat memulai perjalanan.
Ukuran melihat tingkat
ketaatan tersebut hanyalah melihat ketakwaan pada diri seseorang. Hal tersebut
tentu dengan melihat bagaimana hubungan vertikal dan horizontal yang
diperlihatkan oleh seseorang. Lebih luas lagi ukurannya dengan melihat apakah
sudah terbentuk diri yang takwa, keluarga yang marhamah dan
bangsa yang toyyibah. Jika belum, dimana letak kekeliruan yang terjadi
selama ini? Apakah puasa yang salah ataukah puasa sebenarnya tidak dijalankan
sebagaimana yang terdapat dalam aturannya (al-Qur'an dan al-Hadis) sehingga
bukan kemajuan yang didapatkan tetapi malah terlempar ke belakang.
Kalau Asghar Ali Engineer
menghawatirkan kemunduran umat islam sampai keluar wanti-wantinya kepada umat
islam dengan bahasanya “perbedaan antara dogma agama dan sekuler adalah bahwa
saat seseorang dengan mudah menentang dogma sekuler, ia akan sulit menentang
dogma agama yang diterapkan atas nama Tuhan yang Maha Kuasa”[4].,
Mungkin juga ada benarnya, atau versi
Quraish Shihab tentang makna puasa (baca Lentera al-Qur'an h. 143) yang
belum bisa dicapai oleh mayoritas manusia sehingga bukan tujuan puasa yang
didapatkan malah sesuatu yang tidak bisa didefinisikan oleh pelaku puasa.
Abul A'la al-Maududi
menyatakan “agama adalah sistem kehidupan”[5], dapat
diartikan bahwa puasa bukan hanya sebagai ibadah makhdoh yang tidak mempunyai
arti dalam kehidupan sosial. Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri menerangkan bahwa
Puasa memiliki sejumlah manfaat yang bersifat kejiwaan, sosial kemasyarakatan,
dan kesehatan[6].
Lebih lanjut Abu Bakar
Jabir al-Jaza’iri menjelaskan manfaat puasa pada ranah kejiwaan ialah sebagai
media pendidikan kesabaran dan ketakwaan. Pada ranah sosial, puasa dapat
dijadikan sebagai media pelatihan diri tiap mukmin agar tertanam hidup bersatu
dan teratur, cinta keadilan dan persamaan, sifat cinta kasih dan akhlak mulia.
Merujuk kembali kepada
pendapatnya Asghar Ali Engineer bahwa “nilai adalah inti agama bukan ritual”.
Nilai-nilai yang dimaksud sebagimana dijelaskan dalam al-Qur'an berpuasa
tujuannya bertakwa dan takwa itu sendiri ialah menyerupai Tuhan, Quraish Shihab
menjelaskan insan yang berpuasa harus mencontoh sifat-sifat Tuhan[7]. Dengan
begitu akan terbentuklah diri yang bertakwa, keluarga yang marhamah
dan bangsa yang toyyibah. Terkait pepatah yang mengatakan “belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di
waktu tua bagai mengukir di atas air”, maka untuk menta'zimkan bulan suci
Romadhon mengukir hal ihwal yang ma'ruf sudah semestinya.
[1] Al-Qur'an Surat al-Baqoroh 183
[2] Al-Qur'an Surat al-Mursalat 20
[3] Al-Qur'an Surat al-Mukminun 2-9
[4] Asghar Ali Engineer, liberalisasi teologi islam, membangun
teologi damai dalam islam, alenia, Yogyakarta 2004, h. 89
[5] Samir Abdul hamid Ibrahim, teladan bagi generasi pejuang, pustaka
Qalami 2004, Jakarta timuir, h. 102
[6] Abu Bakar Jabir
al-Jaza’iri, pedoman hidup muslim, Litera Antar Nusa, cet-3 2008, Jakarta, h.
469
[7] Quraish Shihab, Lentera al-Qur'an, Mizan 2008, Jakarta, h. 143
Tidak ada komentar:
Posting Komentar