Sabtu, 25 Mei 2013

Artikel Romadhon





Setiap datangnya bulan puasa yang mulia, ayat suci al-Qur'an yang selalu keluar dari setiap lisan penceramah atau lisan para qorik ketika melantunkannya ialah “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa[1]. Di masjid, di tempat-tempat pengajian selalu ramai dengan uraian hikmah dari ayat tersebut.
Sungguh agung tujuan Alloh mewajibkan puasa untuk dilaksanakan manusia. Keagungan yang bisa menempatkan manusia yang berasal dari air yang hina[2], kepada tempat yang suci mulia bersama Alloh di taman kenikmatan (jannatun na'im).
Selain itu banyak ayat suci al-Qur'an dan hadis nabi yang menerangkan tentang kemulyaan bulan Romadhon yang akan didapatkan oleh orang-orang beriman yang melaksanakan ibadah puasa, yaitu berupa berita gembira seperti gambaran balasan baik dan berita buruk seperti siksaan terhadap orang-orang yang tidak melaksanakan ibadah puasa juga turut mewarnai keramaian yang penuh dengan hikmah tersebut.
Namun bagaimana pun banyaknya hikmah yang terdapat dalam bulan puasa Romadhon tentu itu semua tidaklah akan diberikan secara cuma-cuma oleh Allah SWT seperti menurunkan hujan dari langit yang bisa dirasakan nikmatnya oleh setiap orang,  yang baik atau pun jahat. Puasa hanya akan dapat direngkuh kenikmatannya oleh orang-orang yang mampu mengendalikan semua unsur diri kemudian disucikan dalam wadah pembakaran yang disebut Romadhon.
Oleh sebab itu, Imam Ghozali telah menyatakan tentang beberapa peringkat tingkatan orang-orang beriman yang menjalankan ibadah puasa, yaitu puasanya orang awam, puasanya orang khawas dan puasanya orang khawasul khawas. Lebih lanjut Imam Ghozali menerangkan bahwa kebanyakan puasa yang dijalankan oleh orang-orang ialah puasa awam.
Melihat pernyataan imam ghazali tersebut, bila dibandingkan dengan kenyataan pada bulan-bulan puasa sebelumnya memang benar seperti itu. Kebanyakan dari “kita” mungkin termasuk dalam kategori orang-orang yang “stagnan”, sudah puluhan tahun umur dan terus melaksanakan puasa tetapi tidak ada perubahan dalam diri yang menunjukkan bahwa diri ini telah bertakwa yang tercermin pada sikap kedewasaan yang memiliki sifat; 1) khusuk dalam sholat, 2) menjauhkan diri dari perbuatan dan peerkataan yang tidak berguna, 3) menunaikan zakat, 4) menjaga kemaluan, 5) tidak melampui batas, 6) memelihara amanat dan janjinya, 7) memelihara sholatnya[3].
Al-Qur'an telah menerangkan bahwa Allah SWT tidak akan merubah suatu kaum apabila ia tidak merubah dirinya sendiri. Begitu pula dengan buku-buku ilmiah yang membahas tentang manusia bahwa terdapat unsur IQ, EQ, dan SQ yang kemudian oleh Ari Ginanjar digabungkan menjadi ESQ. Potensi yang dapat digunakan dan dilejitkan dari kondisi sebelumnya yang terbelakang kepada kondisi yang lebih maju atau lebih baik dari sebelumnya. Hal serupa juga sangat ditekankan oleh khalifah ke empat Imam Ali Ra bahwa apabila hari ini sama dengan hari kemarin maka tergolong rugi.
Oleh karena itu, setiap insan yang tidak mahu digolongkan menjadi golongan orang-orang yang merugi haruslah progressif dalam mengarungi kehidupan, berbentuk apapun itu. Begitu juga dengan ibadah puasa pada bulan Romadhon harus lebih maju dari puasa bulan Romadhon sebelumnya. Artinya tingkat ketaatan masing-masing insan tetap bertambah ibarat menghitung angka atau ibarat berjalan yang semakin lama semakin jauh dari tempat memulai perjalanan.
Ukuran melihat tingkat ketaatan tersebut hanyalah melihat ketakwaan pada diri seseorang. Hal tersebut tentu dengan melihat bagaimana hubungan vertikal dan horizontal yang diperlihatkan oleh seseorang. Lebih luas lagi ukurannya dengan melihat apakah sudah terbentuk diri yang takwa, keluarga yang marhamah dan bangsa yang toyyibah. Jika belum, dimana letak kekeliruan yang terjadi selama ini? Apakah puasa yang salah ataukah puasa sebenarnya tidak dijalankan sebagaimana yang terdapat dalam aturannya (al-Qur'an dan al-Hadis) sehingga bukan kemajuan yang didapatkan tetapi malah terlempar ke belakang.
Kalau Asghar Ali Engineer menghawatirkan kemunduran umat islam sampai keluar wanti-wantinya kepada umat islam dengan bahasanya “perbedaan antara dogma agama dan sekuler adalah bahwa saat seseorang dengan mudah menentang dogma sekuler, ia akan sulit menentang dogma agama yang diterapkan atas nama Tuhan yang Maha Kuasa”[4]., Mungkin juga ada benarnya, atau versi  Quraish Shihab tentang makna puasa (baca Lentera al-Qur'an h. 143) yang belum bisa dicapai oleh mayoritas manusia sehingga bukan tujuan puasa yang didapatkan malah sesuatu yang tidak bisa didefinisikan oleh pelaku puasa.
Abul A'la al-Maududi menyatakan “agama adalah sistem kehidupan”[5], dapat diartikan bahwa puasa bukan hanya sebagai ibadah makhdoh yang tidak mempunyai arti dalam kehidupan sosial. Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri menerangkan bahwa Puasa memiliki sejumlah manfaat yang bersifat kejiwaan, sosial kemasyarakatan, dan kesehatan[6].
Lebih lanjut Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri menjelaskan manfaat puasa pada ranah kejiwaan ialah sebagai media pendidikan kesabaran dan ketakwaan. Pada ranah sosial, puasa dapat dijadikan sebagai media pelatihan diri tiap mukmin agar tertanam hidup bersatu dan teratur, cinta keadilan dan persamaan, sifat cinta kasih dan akhlak mulia.
Merujuk kembali kepada pendapatnya Asghar Ali Engineer bahwa “nilai adalah inti agama bukan ritual”. Nilai-nilai yang dimaksud sebagimana dijelaskan dalam al-Qur'an berpuasa tujuannya bertakwa dan takwa itu sendiri ialah menyerupai Tuhan, Quraish Shihab menjelaskan insan yang berpuasa harus mencontoh sifat-sifat Tuhan[7]. Dengan begitu akan terbentuklah diri yang bertakwa, keluarga yang marhamah dan bangsa yang toyyibah. Terkait pepatah yang mengatakan “belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di waktu tua bagai mengukir di atas air”, maka untuk menta'zimkan bulan suci Romadhon mengukir hal ihwal yang ma'ruf sudah semestinya.



[1]    Al-Qur'an Surat al-Baqoroh 183
[2]    Al-Qur'an Surat al-Mursalat 20
[3]    Al-Qur'an Surat al-Mukminun 2-9
[4]    Asghar Ali Engineer, liberalisasi teologi islam, membangun teologi damai dalam islam, alenia, Yogyakarta 2004, h. 89
[5]    Samir Abdul hamid Ibrahim, teladan bagi generasi pejuang, pustaka Qalami 2004, Jakarta timuir, h. 102
[6]         Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, pedoman hidup muslim, Litera Antar Nusa, cet-3 2008, Jakarta, h. 469
[7]    Quraish Shihab, Lentera al-Qur'an, Mizan 2008, Jakarta, h. 143

Tidak ada komentar:

Posting Komentar