Minggu, 26 Mei 2013

Peradaban Islam



PENGERTIAN PERADABAN ISLAM
Banyak kata yang dipakai oleh para cendekiawan muslim ketika memaparkan definisi peradaban Islam, dari bahasa Arab sampai bahasa Indonesia sehingga sekarang tergantung dari rujukan yang digunakan dalam menulis khazanah mereka. Literatur berbahasa Indonesia yang penulis jumpai memakai kata peradaban dengan meminjam istilah-istilah dalam bahasa Arab, Inggris dan bahasa lainnya yang dianggap sepadan dengan makna peradaban, seperti contoh istilah dalam bahasa Arab yaitu al-tsaqafat, al-hadharat dan al-tamaddun[1], yang dianggap sepadan dengan peradaban. Dalam bahasa Eropa kata yang sering dipakai ialah “culture” dan “civilization” untuk makna peradaban.
Kata “culture” diambil dari bahasa Latin (cultune) yang berasal dari kata kerja “colore” yang berarti membajak atau tumbuh. Dan kata “civilization” berasal dari kata Latin juga “civis” berarti tamaddun atau yang menetap di kota, kemudian digunakan untuk makna yang menjelaskan kondisi yang maju dan berkembang, baik dalam kehidupan individu dan sosial[2].
Berikut pandangan peradaban dari para ahli sejarah seperti Will Durant, Tylor, dan Sayyid Quthb yang dibahasakan oleh Satori Ismail sebagai berikut
Wil Durant mendefinisikan peradaban sebagai “sisitem sosial yang dapat membantu manusia mengembangkan produksi budayanya dengan 4 (empat) unsure: sumber-sumber ekonomi, system politik, ideology dan transformasi ilmu dan seni”[3]. Sedangkan Tylor-ilmuawan Inggris mengartikan peradaban sebagai “wujud yang kompleks meliputi pengetahuan, ideology, seni budaya, perundang-undangan, tradisi dan seluruh kemampuan-kemampuan lain yang dicapai manusia sebagai anggota masyarakat”. Dan Sayyid Quthb mempunyai definisi “sesuatu yang dapat memberikan manusia berupa ideology, persepsi, prinsip-prinsip dan values (nilai-nilai) yang baik untuk mengarahkan manusia dan memberikan peluang demi perkembangan dan kemajuan yang hakiki yakni bagi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia”.

Peradaban erat kaitannya dengan kebudayaan. Keduanya saling mempengaruhi tatanan kehidupan manusia. Tidak ada peradaban tanpa kebudayaan dan tidak ada kebudayaan yang tidak membawa peradaban. oleh karena itu, peradaban Islam ialah sebuah tatanan kehidupan yang dibawa oleh Muhammad (Rasulullah Saw.) dalam bentuk wahyu yang diperuntukkan untuk manusia. Wahyu tersebut mengajarkan moralitas ideal dan pembawa wahyu memberikan contoh pelaksanaan wahyu sehingga belakangan timbullah hadis sebagai tafsir dari wahyu. Mengenai wahyu ini Albert Hourani mengatakan; Ajaran yang disampaikan oleh Muhammad sebuah ajaran wahyu yang ia katakana telah diturnkan kepada dirinya oleh Tuhan melalui perantaraan malikat tertinggi, Jibril. Bagi para pengikutnya, ajaran tersebut demikian penting karena telah mengubah kondisi sejarah.[4]

PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW.
A.    Peradaban Arab sebelum Islam
Sejarah telah menceritakan bahwa sebelum datangnya Islam, moral dan budaya pada saat itu sangatlah tidak beradab sehingga biadab dalam istilah arab (jahiliyah) muncul dengan berbagai macam cara yang tidak  mempunyai prikemanusiaan. Pertama, kondisi politik tanah Arab pada saat itu lemah sehingga sangat mencolok keadaan tuan dan budak, atau pemimpin dan rakyat. pekerjaan yang dilakukan oleh budak hanya untuk menumpuk kekayaan si tuan, walaupun begitu si budak tetap saja menjalani kehidupan yang tidak berkeadilan itu. pemimpin yang berkuasa tidak memperhatikan bagaimana rakyat terombang ambing dalam kemiskinan yang menjerat leher mereka perlahan-lahan. akibatnya kesenjangan antara tuan dan budak atau antara pemimpin dan rakyat seperti pulau yang ditengahi samudra.
Kedua, kondisi sosial mencerminkan tatanan hubungan antar individu dan masyarakat yang tidak sehat. Salah satu perkara yang sering dibicarakan dalam sejarah ialah model pernikahan yang sering dipraktikkan oleh kaum jahiliyah ada empat macam; a) pernikahan seperti pernikahan sekarang ini. b) nikah istibdha’ (mencari bibit unggul). c) banyak laki-laki menyetubuhi satu perempuan kemudian yang berhak menunjuk ayah dari anak yang dilahirkan adalah perempuan dan laki-laki tidak boleh menolak. d) banyak laki-laki mendatangi perempuan pelacur, jika pelacur tersebut hamil sampai melahirkan bayi maka ditunjuklah seorang yang dianggap mengetahui ciri-ciri persamaan antara bayi dengan laki-laki yang telah berhubungan dengan perempuan pelacur itu[5].
Ketiga, kondisi ekonomi secara otomatis mengikuti kondisi politik dan kondisi sosial. Keempat, kondisi ahklaq sudah sangat merosot sehingga harkat dan martabat manusia dipandang lebih rendah dari nilai barang yang dinominalkan dengan nilai mata uang, akibatnya manusia menjadi penyembah kekuasan sehingga istilah jahiliyah tadi termaktub dalam buku-buku sejarah Islam sebagai masa pra kebangkitan Islam. Tidak dinginkan kelahiran bayi perempuan, kehadiran bayi perempuan dipandang sebagai aib dalam keluarga. Bayi perempuan tidak bisa mengayunkan senjata ke medan perang, mereka dianggap hanya bisa bersolek dan hanya menjadi beban keluarga.
Setelah diangkatnya Muhammad sebagai nabi maka keadaan mulai berubah sedikit demi sedikit seiring waktu dan pengikut Islam terus berkembang sampai sekarang menyebar ke semua wilayah di dunia. Nabi Muhammad Saw telah berhasil mendidik para sahabat sehingga kekuatan keyakinan setiap sahabat lebih kokoh dan kuat daripada barisan musuh yang tetap teguh berpendirian mempertahankan budaya jahiliyahnya.
Nabi Muhammad menyebarkan dakwah tentang Islam kepada orang-orang terdekatnya yang ia kenal baik dan beliau dikenal baik pula. Msai uhammad Ali menerangkan bahwa Khadijah binti Khuwailid, kemudian disusul oleh mantan budak beliau, Zaid bin Haritsah bin Syurahbil al-Kalabi, putra paman beliau, Ali bin Abi Thalib (pada saat itu masih anak-anak), dan hidup di bawah tanggungan Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam), dan teman dekatnya Abu Bakar ash-Shiddiq. Mereka masuk Islam pada hari pertama diserukan masuk Islam[6].

B.     Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Agama dan Kepala Negara
Sejak menjadi pengembala kambing keluarganya dan penduduk Mekkah nabi Muhammad menemukan tempat untuk merenung memikirkan segala bentuk nafsu duniawi sebelum ia diangkat menjadi nabi, tempat itu sebuah gua yang diberi nama Hiro. dari kerisauan melihat manusia di lingkungannya, nabi Muhammad mengasingkan diri di sana. Meminjam istilah tasauf “uzlah” mengasingkan diri dari keramain kerumunan manusia. Sebagaimana semua buku kisah tentang nabi Muhammad, Di sanalah ia menerima wahyu yang pertama, terakhir di madinah seiring dinamika perjalanan hidupnya sampai wahyu itu lengkap 30 juz yang terdiri dari 114 surat[7].
Selain al-Qur’an, tingkah laku nabi Muhammad juga menjadi sumber rujukan bagi pengikut Islam untuk menentukan hukum yang tidak dibahasakan langsung oleh al-Qur’an setelah nabi Muhammad memulai menyebarkan risalahnya. Karena risalah yang disampaikan menghadapi kendala yang cukup kuat di Mekkah maka nabi Muhammad melakukan hijrah ke negeri yang bernama Yasrib. Philip K. Hitti menerangkan bahwa hijrah-bukan sepenuhnya sebuah “pelarian” tapi merupakan rencana perpindahan yang telah dipertimbangkan secara seksama selama sekitar dua tahun sebelumnya[8].
Nabi menjadi pemimpin agama dan kepala Negara karena beberapa faktor seperti yang telah disebutkan Badri Yatim, pertama, pembangunan masjid, selain untuk tempat shalat juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat musyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Kedua, ukhuwah Islamiyyah persaudaraan sesame muslim. Ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak lain yang tidak beragama Islam[9].
Setelah nabi berdomisili di madinah pengikutnya mulai bertambah sehingga pemuka Quraisyi memutuskan untuk menyerang nabi. Pertempuran pertama kaum muslimin dengan penentangnya dari pihak Quraisyi dikenal dengan nama “Badr” yang terjadi pada tahun ke-2 hijrah. Setelah badr terjadi juga perang uhud pada ke-3 hijrah dan perang khandaq pada ke-5 hijrah[10]. Dengan apa yang sudah dilakukan oleh nabi Muhammad sebelum hijrah sampai meninggalnya di madinah menggambarkan peran yang multifungsi. Selama kehidupannya, Muhammad telah menjalankan perannya sebagai nabi, pembuat hukum, pemimpin agama, hakim, komandan pasukan dan kepala pemerintahan sipil-semuanya menyatu dalam diri Muhammad[11].
Peradaban Islam pada masa al-Khulafa al-Rasyidun
A.    Khalifah Abu Bakr as-Siddiq
Abu Bakr menjadi khalifah karena pertemuan yang diadakan oleh kalangan ansar setelah terdengar berita wafatnya Rasulullah. Pertemuan itu berlangsug di Saqifah Banu Sa’idah[12]. Dalam pertemuan itulah Abu Bakr diba’at menjadi khalifah rasul (wakil rasul) setelah melalui pembicaraan panjang antara kaum muhajirin dan ansar. Kaum muhajirin diwakili oleh Abu Bakr, Umar, dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Sedangkan dari ansar yang banyak berperan dalam dialog tersebut adalah Sa’ad bin Ubadah,  al-Hubab bin al-Munzir bin al-Jamuh, Basyir bin Sa’d Abu an-Nu’man bin Basyir pembesar suku Khazraj, dan Usaid bin Hudair pemimpin Aus[13].
Abu Bakr sama seperti model kepemimpinan rasul semua kendali terpusat padanya, kepemimpinannya tidak terlalu lama, Abu Bakr menjadi khalifah hanya dua tahun[14]. Keberhasilan pada masa Abu Bakr antaranya;
1.      Menegakkan persoalan pengingkaran perjanjian yang telah ditetapkan oleh Rasul. Persoalan ini diselesaikan dengan perang Riddah (perang melawan kemurtadan) yang dikomandoi oleh Khalid ibn Walid.
2.      Abu Bakr dengan kekuatan sahabat lainnya berhasil menyebarkan Islam ke luar Arab seperti Iraq, Syria[15].
B.     Khalifah Umar Bin Khattab
Setelah Umar menjadi khalifah dengan cara penunjukan berdasarkan musyawarah. perluasan penyebaran Islam memperkuat apa yang telah dilaksanakan oleh Abu Bakr sehingga wilayah yang dapat ditundukkan pada masa Umar terbagi menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir[16]. Umar hanya memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M).
Umar berhenti menjadi Khalifah karena terbunuh oleh budak Persia yang bernama Abu Lu’lu’ah. Untuk penggantinya Umar menggunakan mekanisme formatur kemudian menunjuk enam orang untuk bermusyarah tentang siapa penggantinya, dengan syarat anaknya tidak boleh ditunjuk. Enam orang itu ialah Ustman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Abdullah, Zubayr ibn al-Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn ‘Awf[17].
C.    Khalifah Utsman Bin Affan
Untuk masa khalifah Ustman terjadi perbedaan tahun oleh dua penulis buku. Menurut Badri Yatim (644-655 M), dan Menurut Jaih Mubarok Ustman menjadi khalifah pada tahun 644-656 M. menurut penulis, tahun yang lebih tepat ialah pendapat yang kedua, karena di buku-buku sejarah yang lainnya juga tertera tahun sebagaimana yang disebutkan oleh Philip K. Hitti sama dengan yang disebutkan Jaih Mubarok.
Pada masa khalifah Ustman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rodhes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini[18]. Selain perluasan wilayah kekuasaan Islam juga penyusunan mushhaf Ustmani telah mengeluarkan umat Islam dari kemelut karena perbedaan kiraat[19].
D.    Khalifah Ali Ibn Abi Thalib
Setelah Ustman wafat Ali memerintah hanya enam tahun. Pada masa Ali terjadi pergolakan yang luar biasa antara sahabat nabi sampai terjadi peperangan yang dikenal dengan perang shiffin. Ali ibn Abi Tahlib menghadapi percekcokan dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah dengan alasan. Bahwa Ali tidak mahu menghukum pembunuh Ustman. Perang tersebut berakhir pada tahkim (arbitrase) yang merugikan Ali dan menguntung Mu’awwiyah sehingga kembali menimbulkan gejolak baru dengan munculnya tiga kekuatan yaitu pihak Syi’ah (pengikut Ali), Mu’awiyah, dan Kawarij (orang yang keluar dari barisan Ali).

MASA KEMAJUAN ISLAM
A.    Khalifah Bani Umayyah
Kekhalifahan bani Umayyah dimulai dengan perseteruan antara sahabat sebagaimana telah teretulis di atas. Tahkim yang disepakati antara pihak Umar dan Mu’awiyah  sebagai solusi alternative supaya tidak terjadi peperangan menurut Badri Yatim bahwa kekhalifahan Muawwiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak[20].
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun, ibu kota Negara dipindahkan Mu’awiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd Al-Malik ibn Marwan (685-705 M), Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M), dan Hasyim ibn Abd Al-Malik (724-743 M)[21].
Ekspansi yang sempat terhenti pada zaman Ustman dilanjutkan oleh Mu’awiyah, sehingga Islam menyebar lebih luas. Adapun daerah ekspansi yang dapat dikuasai pada masa Bani Umayyah baik di Timur dan di Barat. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daeerah yang sekarang disebut Pakistan, Purmenia, Usbek, dan Kirgis di Asia Tengah.

B.     Khalifah Bani Abbas
Kekuasaan Bani Abbas atau Khilafah Abbasiyah berlangsung dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M) sehingga para sejarawan membagi pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode.
1.      Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.      Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki perama.
3.      Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintah khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.      Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M) masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5.      Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada periode pertama dinasti Abbasiyah kekuatan politiknya mencapai tingkat keemasan, setelah periode ini berakhir secara politik kekuatannya menurun tetapi dan mulai berkembang filsafat dan ilmu pengetahuan.


MASA DISINTERGRASI (1000 – 1250 M)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa puncak keemasan yang berhasil dicapai pada masa Bani Abbasiyah pada periode pertama, kekuatan politik periode selanjutnya semakin melemah sehingga pada periode kelima dikenal dengan masa disintegrasi dimana saat itu banyak terjadi gejolak seperti dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Bagdad, perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dan terjadinya perang salib.

RUJUKAN
Achmad Satori Ismail dkk, Islam Liberal, Jakarta: Pustaka Ikada Tahun 2007
Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Bandung: Mizan Tahun 2004
Al-Mubarrakfury, Syaikh Shafiyur-Rahman, Sejarah hidup Muhammad: Sirah Nabawiyah, cet. 1, Jakarta: Robbani Press, 1998
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Tahun 2006
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Qurasy Tahun 2004
Philip. K. Hitti, History Of The Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, cet. 1 2006
Muhammad Husain Haekal, As-Siddiq Abu Bakr, Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, cet. 9 2009.


[1] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, h. 17.
[2] Achmad Satori Ismail dkk, Islam Moderat, Jakarta Timur: Pusataka Ikadi, h 194.
[3] Ibid, h 195.
[4] Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Bandung: Mizan, h. 2.
[5]  Syaikh Muhammad Ali Al-Harakan, Sejarah Hidup Muhammad: Sirah Nabawiyah, Robbani Press 2008, Jakarta, h. 40
[6] Ibid, h. 86
[7] Al-Qur’an
[8] Philip K. Hitti, History of the Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, h. 145.
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, h. 26.
[10] Ibid, h. 27-29.
[11] Philip K. Hitti, History of Arabs, h. 174.
[12] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakr As-Siddiq, Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, h. 33.
[13] Ibid,
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 36
[15] Ibid, h. 36.
[16] Ibid, h 37.
[17] Philip K. Hitti, The History of Arabs, h 223.
[18] Ibid, h 38.
[19] Jaih Mubarok, h 81.
[20] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 42.
[21] Ibid, h. 43.

Tasawuf; mari bertasawuf



(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar-Ra’du)
Tasawuf dalam dunia Islam sudah tidak asing terdengar di setiap telinga pemeluknya, dari kajian perkuliahan sampai di masyarakat umum. Banyak riwayat yang dijadikan klaim bahwa tasawuf memang sudah ada semenjak masa Rasullullah Saw. Hal ini dapat ditemukan pada referensi-referensi klasik maupun modern yang mengangkat tema tasawuf.
Para ulama dalam mendefinisikan tasawuf mempunyai pandangan yang berbeda.  Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdy mengatakan “tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju kepada perintah-Nya”[1]. Sedangkan imam Al-Ghazali mempunyai definisi; “tasawuf adalah budi pekerti; barang siapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) Islam. Dan ahli zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa akhlak (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) imannya”[2]
Ajaran Tasawuf merupakan nilai-nilai universal yang terdapat dalam setiap diri manusia. Dari ulama terdahulu sampai sekarang tasawuf masih tetap mempunyai tempat dalam pemeluk agama Islam sehingga belakangan ini tasawuf banyak terdapat di kota-kota besar kemudian hadir dengan nama tasawuf modern. Ada pula yang mendefinisikan bahwa tasawuf mencari kebenaran hakiki dengan cara meninggalkan kesenangan dunia, pendapat ini dikeluarkan oleh Ma’ruf al-Karakhy. Ditambahkan lagi oleh Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdy bahwa tujuan tasawuf akan bisa dicapai dengan ilmu syari’ah, ilmu thariqah, ilmu haqiqah, dan ilmu ma’rifat.
Semua itu (dari syari’ah sampai ma’rifat) merupakan bagian dari taraf keislaman seseorang sejauh mana keberimanannya pada Allah SWT. Jadi, perkara yang paling penting dalam Islam adalah perkara iman. Semenjak al-Qur’an diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw., dari ayat pertama sampai lengkap 30 (tiga puluh) bagian (juzu’) mempunyai pesan agar manusia beriman kepada Allah SWT. Begitu pula dengan hadits yang telah berhasil dikumpulkan oleh para muhadditsin, pesannya menjelaskan kandungan pesan al-Qur’an. Hari  ini pun pesan yang terus disampaikan oleh para ulama tidak mengalami perubahan baik di timur maupun di barat seruannya hanya supaya manusia beriman, menyeru kepada kebaikan dan menegah dari yang munkar[3].
Namun semakin terlewatkan waktu dari awal penyampaian perkara iman tersebut sampai hari ini mengalami degradasi, semakin menurun sangat jauh dari generasi pertama, kedua, ketiga seakan-akan menurun tanpa ada pertahanan dari generasi ke generasi. orang beriman dalam menjalani hidupnya keseharian menggambarkan perbandingan sampai sejauh mana kualitas iman yang dimiliki oleh masing-masing personal. Ukuran yang dipakai ialah garis lurus yang telah digariskan oleh para rasul dan dicontohkan dalam tindakan keseharian yang mewujudkan peradaban yang belum tertandingi sampai hari ini.
Indonesia umumnya dan NTB khususnya terdapat banyak kiyai dan tuan guru yang bergerak sebagai muballigh mengajak semua ummat kepada kebaikan tetapi Indonesia bila dibandingkan Negara-negara yang sedikit uumat Islam di dalamnya peradabannya lebih rapi, NTB yang terkenal dengan seribu masjid seribu tuan guru dalam kacamata peradaban jauh tertinggal dari daerah lain yang tidak banyak memiliki simbol-simbol Islam seperti itu.
Ummat Islam yang sedang terkotak-kotak lantaran perdebatan antar mazhab dan golongan baik yang murni disebabkan oleh kepentingan membela pemahaman fiqhiyah atau karena kepentingan politik kekuasaan sudah saatnya bertemu pada titik persamaan supaya bisa saling bergandengan sesama saudara muslim. Tedapat banyak tugas bersama yang perlu diperhatikan bagaimana mengatasinya. Tugas yang paling krusial untuk masa ini adalah masalah “moral”. Kalau coba direkam pemberitaan di media massa melalui elektronik atau cetak selama seminggu saja mungkin akan mencapai angka puluhan kejadian amoral yang berhasil diketahui pihak media sedangkan yang belum terungkap lebih banyak dan lebih besar.
Fenomena saat ini persis seperti apa yang telah tertera dalam al-Qur’an bahwa kebanyakan manusia sedang di idap oleh penyakit disorientasi kehidupan. Praktek kehidupan yang diterapkan manusia sebagaimana praktek makhluk Alloh lainnya yang tidak diberikan petunjuk untuk menjalani kehidupan. Akibatnya, manusia sendiri yang menerima konsekwensi dari apa yang telah mereka terapkan. Patologi individu sudah sampai pada ranah sosial yang seolah-olah tidak bisa dihentikan dengan cara apapun. Di setiap sistem yang ada sepertinya nilai-nilai luhur hanya terdapat dalam teks dan wacana tetapi nihil dalam tindakan.
Harus ada segolongan dari ummat Islam yang peka terhadap keadaan ummat sekarang ini kemudian mengajak yang lainnya supaya kembali berpegang pada kalimah yang mempersatukan semua ummat manusia. Untuk itulah PB Jam’iyah Majelis zikir memandang bahwa menyampaikan kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH adalah obat bagi semua penyakit ummat dewasa ini. Bila kalimah tersebut sudah tertanam dalam jantung hati sanubari maka manusia akan menjalani kehidupan ini bukan dengan topeng melainkan apa adanya (ikhlas) yang dilandasi oleh sifat berterima kasih telah diberikan nikmat kehidupan (bersyukur) dan lapang dada menjalani semua bentuk rintangan menegakkan aturan Islam (sabar). Oleh karena itu, dalam rangka menta’zimkan kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH PB Jam’iyah Majelis mengajak semua elemen untuk bersama-sama berzikir dan berfikir mengatasi permasalahan diri dengan bermunajat kepada Allah SWT dan bertawassul kepada para alim ulama pada peringatan kelahiran seorang mulia Syekh Abdul Qodir Jilani Q.S.
kegiatan tersebut dilaksanakan setiap tahun, bertempat di Montong Razak desa Batunyala kecamatan Praya Tengah Lombok Tengah. dipimpin oleh TGH. M. Hulaimi Umar. selain itu, kajian umum dan kajian tasawuf dilaksanakan setiap hari minggu di Masjid Baetal Makmur Montong Razak.

[1] Mustofa, Akhlak Tasawuf, h. 203.
[2] Ibid, h. 204.
[3] Al-Qur’an Q.S. Ali Imran