PENGERTIAN PERADABAN ISLAM
Banyak kata yang
dipakai oleh para cendekiawan muslim ketika memaparkan definisi peradaban Islam,
dari bahasa Arab sampai bahasa Indonesia sehingga sekarang tergantung dari
rujukan yang digunakan dalam menulis khazanah mereka. Literatur berbahasa Indonesia
yang penulis jumpai memakai kata peradaban dengan meminjam istilah-istilah dalam
bahasa Arab, Inggris dan bahasa lainnya yang dianggap sepadan dengan makna
peradaban, seperti contoh istilah dalam bahasa Arab yaitu al-tsaqafat,
al-hadharat dan al-tamaddun[1],
yang dianggap sepadan dengan peradaban. Dalam bahasa Eropa kata yang sering
dipakai ialah “culture” dan “civilization” untuk makna peradaban.
Kata “culture”
diambil dari bahasa Latin (cultune) yang berasal dari kata kerja “colore” yang
berarti membajak atau tumbuh. Dan kata “civilization” berasal dari kata Latin
juga “civis” berarti tamaddun atau yang menetap di kota, kemudian digunakan
untuk makna yang menjelaskan kondisi yang maju dan berkembang, baik dalam
kehidupan individu dan sosial[2].
Berikut
pandangan peradaban dari para ahli sejarah seperti Will Durant, Tylor, dan
Sayyid Quthb yang dibahasakan oleh Satori Ismail sebagai berikut
Wil
Durant mendefinisikan peradaban sebagai “sisitem sosial yang dapat membantu
manusia mengembangkan produksi budayanya dengan 4 (empat) unsure: sumber-sumber
ekonomi, system politik, ideology dan transformasi ilmu dan seni”[3].
Sedangkan Tylor-ilmuawan Inggris mengartikan peradaban sebagai “wujud yang
kompleks meliputi pengetahuan, ideology, seni budaya, perundang-undangan,
tradisi dan seluruh kemampuan-kemampuan lain yang dicapai manusia sebagai
anggota masyarakat”. Dan Sayyid Quthb mempunyai definisi “sesuatu yang dapat
memberikan manusia berupa ideology, persepsi, prinsip-prinsip dan values
(nilai-nilai) yang baik untuk mengarahkan manusia dan memberikan peluang demi
perkembangan dan kemajuan yang hakiki yakni bagi nilai-nilai kemanusiaan dan
kehidupan manusia”.
Peradaban erat
kaitannya dengan kebudayaan. Keduanya saling mempengaruhi tatanan kehidupan
manusia. Tidak ada peradaban tanpa kebudayaan dan tidak ada kebudayaan yang
tidak membawa peradaban. oleh karena itu, peradaban Islam ialah sebuah tatanan
kehidupan yang dibawa oleh Muhammad (Rasulullah Saw.) dalam bentuk wahyu yang
diperuntukkan untuk manusia. Wahyu tersebut mengajarkan moralitas ideal dan
pembawa wahyu memberikan contoh pelaksanaan wahyu sehingga belakangan timbullah
hadis sebagai tafsir dari wahyu. Mengenai wahyu ini Albert Hourani mengatakan;
Ajaran yang disampaikan oleh Muhammad sebuah ajaran wahyu yang ia katakana
telah diturnkan kepada dirinya oleh Tuhan melalui perantaraan malikat
tertinggi, Jibril. Bagi para pengikutnya, ajaran tersebut demikian penting
karena telah mengubah kondisi sejarah.[4]
PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW.
A. Peradaban Arab sebelum Islam
Sejarah telah menceritakan bahwa sebelum
datangnya Islam, moral dan budaya pada saat itu sangatlah tidak beradab
sehingga biadab dalam istilah arab (jahiliyah) muncul dengan berbagai
macam cara yang tidak mempunyai
prikemanusiaan. Pertama, kondisi
politik tanah Arab pada saat itu lemah sehingga sangat mencolok keadaan tuan
dan budak, atau pemimpin dan rakyat. pekerjaan yang dilakukan oleh budak hanya
untuk menumpuk kekayaan si tuan, walaupun begitu si budak tetap saja menjalani
kehidupan yang tidak berkeadilan itu. pemimpin yang berkuasa tidak
memperhatikan bagaimana rakyat terombang ambing dalam kemiskinan yang menjerat
leher mereka perlahan-lahan. akibatnya kesenjangan antara tuan dan budak atau
antara pemimpin dan rakyat seperti pulau yang ditengahi samudra.
Kedua,
kondisi sosial mencerminkan tatanan hubungan antar individu dan masyarakat yang
tidak sehat. Salah satu perkara yang sering dibicarakan dalam sejarah ialah
model pernikahan yang sering dipraktikkan oleh kaum jahiliyah ada empat macam;
a) pernikahan seperti pernikahan sekarang ini. b) nikah istibdha’ (mencari
bibit unggul). c) banyak laki-laki menyetubuhi satu perempuan kemudian yang
berhak menunjuk ayah dari anak yang dilahirkan adalah perempuan dan laki-laki
tidak boleh menolak. d) banyak laki-laki mendatangi perempuan pelacur, jika
pelacur tersebut hamil sampai melahirkan bayi maka ditunjuklah seorang yang
dianggap mengetahui ciri-ciri persamaan antara bayi dengan laki-laki yang telah
berhubungan dengan perempuan pelacur itu[5].
Ketiga,
kondisi ekonomi secara otomatis mengikuti kondisi politik dan kondisi sosial. Keempat, kondisi ahklaq sudah sangat
merosot sehingga harkat dan martabat manusia dipandang lebih rendah dari nilai
barang yang dinominalkan dengan nilai mata uang, akibatnya manusia menjadi
penyembah kekuasan sehingga istilah jahiliyah tadi termaktub dalam buku-buku
sejarah Islam sebagai masa pra kebangkitan Islam. Tidak dinginkan kelahiran
bayi perempuan, kehadiran bayi perempuan dipandang sebagai aib dalam keluarga.
Bayi perempuan tidak bisa mengayunkan senjata ke medan perang, mereka dianggap
hanya bisa bersolek dan hanya menjadi beban keluarga.
Setelah diangkatnya Muhammad sebagai
nabi maka keadaan mulai berubah sedikit demi sedikit seiring waktu dan pengikut
Islam terus berkembang sampai sekarang menyebar ke semua wilayah di dunia. Nabi
Muhammad Saw telah berhasil mendidik para sahabat sehingga kekuatan keyakinan
setiap sahabat lebih kokoh dan kuat daripada barisan musuh yang tetap teguh
berpendirian mempertahankan budaya jahiliyahnya.
Nabi Muhammad menyebarkan dakwah tentang
Islam kepada orang-orang terdekatnya yang ia kenal baik dan beliau dikenal baik
pula. Msai uhammad Ali menerangkan bahwa Khadijah binti Khuwailid, kemudian
disusul oleh mantan budak beliau, Zaid bin Haritsah bin Syurahbil al-Kalabi,
putra paman beliau, Ali bin Abi Thalib (pada saat itu masih anak-anak), dan
hidup di bawah tanggungan Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam), dan teman
dekatnya Abu Bakar ash-Shiddiq. Mereka masuk Islam pada hari pertama diserukan
masuk Islam[6].
B. Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Agama dan
Kepala Negara
Sejak menjadi pengembala kambing keluarganya
dan penduduk Mekkah nabi Muhammad menemukan tempat untuk merenung memikirkan
segala bentuk nafsu duniawi sebelum ia diangkat menjadi nabi, tempat itu sebuah
gua yang diberi nama Hiro. dari kerisauan melihat manusia di lingkungannya,
nabi Muhammad mengasingkan diri di sana. Meminjam istilah tasauf “uzlah”
mengasingkan diri dari keramain kerumunan manusia. Sebagaimana semua buku kisah
tentang nabi Muhammad, Di sanalah ia menerima wahyu yang pertama, terakhir di
madinah seiring dinamika perjalanan hidupnya sampai wahyu itu lengkap 30 juz
yang terdiri dari 114 surat[7].
Selain al-Qur’an, tingkah laku nabi
Muhammad juga menjadi sumber rujukan bagi pengikut Islam untuk menentukan hukum
yang tidak dibahasakan langsung oleh al-Qur’an setelah nabi Muhammad memulai
menyebarkan risalahnya. Karena risalah yang disampaikan menghadapi kendala yang
cukup kuat di Mekkah maka nabi Muhammad melakukan hijrah ke negeri yang bernama
Yasrib. Philip K. Hitti menerangkan bahwa hijrah-bukan sepenuhnya sebuah
“pelarian” tapi merupakan rencana perpindahan yang telah dipertimbangkan secara
seksama selama sekitar dua tahun sebelumnya[8].
Nabi menjadi pemimpin agama dan kepala
Negara karena beberapa faktor seperti yang telah disebutkan Badri Yatim, pertama,
pembangunan masjid, selain untuk tempat shalat juga sebagai sarana penting
untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping
sebagai tempat musyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Kedua,
ukhuwah Islamiyyah persaudaraan sesame muslim. Ketiga, hubungan persahabatan
dengan pihak lain yang tidak beragama Islam[9].
Setelah nabi berdomisili di madinah
pengikutnya mulai bertambah sehingga pemuka Quraisyi memutuskan untuk menyerang
nabi. Pertempuran pertama kaum muslimin dengan penentangnya dari pihak Quraisyi
dikenal dengan nama “Badr” yang terjadi pada tahun ke-2 hijrah. Setelah badr
terjadi juga perang uhud pada ke-3 hijrah dan perang khandaq pada ke-5 hijrah[10].
Dengan apa yang sudah dilakukan oleh nabi Muhammad sebelum hijrah sampai
meninggalnya di madinah menggambarkan peran yang multifungsi. Selama
kehidupannya, Muhammad telah menjalankan perannya sebagai nabi, pembuat hukum,
pemimpin agama, hakim, komandan pasukan dan kepala pemerintahan sipil-semuanya
menyatu dalam diri Muhammad[11].
Peradaban Islam pada masa al-Khulafa al-Rasyidun
A. Khalifah Abu Bakr as-Siddiq
Abu Bakr menjadi khalifah karena pertemuan yang diadakan
oleh kalangan ansar setelah terdengar berita wafatnya Rasulullah. Pertemuan itu
berlangsug di Saqifah Banu Sa’idah[12].
Dalam pertemuan itulah Abu Bakr diba’at menjadi khalifah rasul (wakil rasul)
setelah melalui pembicaraan panjang antara kaum muhajirin dan ansar. Kaum
muhajirin diwakili oleh Abu Bakr, Umar, dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Sedangkan
dari ansar yang banyak berperan dalam dialog tersebut adalah Sa’ad bin Ubadah, al-Hubab bin al-Munzir bin al-Jamuh, Basyir
bin Sa’d Abu an-Nu’man bin Basyir pembesar suku Khazraj, dan Usaid bin Hudair
pemimpin Aus[13].
Abu
Bakr sama seperti model kepemimpinan rasul semua kendali terpusat padanya,
kepemimpinannya tidak terlalu lama, Abu Bakr menjadi khalifah hanya dua tahun[14].
Keberhasilan pada masa Abu Bakr antaranya;
1. Menegakkan persoalan pengingkaran
perjanjian yang telah ditetapkan oleh Rasul. Persoalan ini diselesaikan dengan
perang Riddah (perang melawan kemurtadan) yang dikomandoi oleh Khalid ibn
Walid.
2. Abu Bakr dengan kekuatan sahabat lainnya
berhasil menyebarkan Islam ke luar Arab seperti Iraq, Syria[15].
B. Khalifah Umar Bin Khattab
Setelah Umar menjadi khalifah dengan cara penunjukan
berdasarkan musyawarah. perluasan penyebaran Islam memperkuat apa yang telah
dilaksanakan oleh Abu Bakr sehingga wilayah yang dapat ditundukkan pada masa
Umar terbagi menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah,
Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir[16].
Umar hanya memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M).
Umar berhenti menjadi Khalifah karena terbunuh oleh
budak Persia yang bernama Abu Lu’lu’ah. Untuk penggantinya Umar menggunakan
mekanisme formatur kemudian menunjuk enam orang untuk bermusyarah tentang siapa
penggantinya, dengan syarat anaknya tidak boleh ditunjuk. Enam orang itu ialah
Ustman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Abdullah, Zubayr ibn al-Awwam,
Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn ‘Awf[17].
C. Khalifah Utsman Bin Affan
Untuk masa khalifah Ustman terjadi perbedaan tahun
oleh dua penulis buku. Menurut Badri Yatim (644-655 M), dan Menurut Jaih
Mubarok Ustman menjadi khalifah pada tahun 644-656 M. menurut penulis, tahun
yang lebih tepat ialah pendapat yang kedua, karena di buku-buku sejarah yang
lainnya juga tertera tahun sebagaimana yang disebutkan oleh Philip K. Hitti
sama dengan yang disebutkan Jaih Mubarok.
Pada masa khalifah Ustman, Armenia, Tunisia, Cyprus,
Rodhes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabaristan
berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini[18].
Selain perluasan wilayah kekuasaan Islam juga penyusunan mushhaf Ustmani telah
mengeluarkan umat Islam dari kemelut karena perbedaan kiraat[19].
D. Khalifah Ali Ibn Abi Thalib
Setelah Ustman wafat Ali memerintah hanya enam
tahun. Pada masa Ali terjadi pergolakan yang luar biasa antara sahabat nabi
sampai terjadi peperangan yang dikenal dengan perang shiffin. Ali ibn Abi
Tahlib menghadapi percekcokan dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah dengan alasan.
Bahwa Ali tidak mahu menghukum pembunuh Ustman. Perang tersebut berakhir pada
tahkim (arbitrase) yang merugikan Ali dan menguntung Mu’awwiyah sehingga
kembali menimbulkan gejolak baru dengan munculnya tiga kekuatan yaitu pihak
Syi’ah (pengikut Ali), Mu’awiyah, dan Kawarij (orang yang keluar dari barisan
Ali).
MASA KEMAJUAN ISLAM
A. Khalifah Bani Umayyah
Kekhalifahan bani Umayyah dimulai dengan perseteruan
antara sahabat sebagaimana telah teretulis di atas. Tahkim yang disepakati
antara pihak Umar dan Mu’awiyah sebagai
solusi alternative supaya tidak terjadi peperangan menurut Badri Yatim bahwa
kekhalifahan Muawwiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya,
tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak[20].
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90
tahun, ibu kota Negara dipindahkan Mu’awiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat
ia berkuasa sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd Al-Malik ibn Marwan (685-705 M),
Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M), dan
Hasyim ibn Abd Al-Malik (724-743 M)[21].
Ekspansi yang sempat terhenti pada zaman Ustman
dilanjutkan oleh Mu’awiyah, sehingga Islam menyebar lebih luas. Adapun daerah
ekspansi yang dapat dikuasai pada masa Bani Umayyah baik di Timur dan di Barat.
Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah
Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daeerah yang sekarang
disebut Pakistan, Purmenia, Usbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
B. Khalifah Bani Abbas
Kekuasaan Bani Abbas atau Khilafah Abbasiyah
berlangsung dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M) sehingga para
sejarawan membagi pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode.
1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847
M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945
M), disebut masa pengaruh Turki perama.
3. Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055
M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintah khalifah Abbasiyah. Periode
ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode keempat (447 H/1055 M – 590
H/1194 M) masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah
Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode kelima (590 H/1194 M – 656
H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya
hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada periode pertama dinasti Abbasiyah kekuatan
politiknya mencapai tingkat keemasan, setelah periode ini berakhir secara
politik kekuatannya menurun tetapi dan mulai berkembang filsafat dan ilmu
pengetahuan.
MASA DISINTERGRASI (1000 – 1250 M)
Sebagaimana
telah dijelaskan di atas bahwa puncak keemasan yang berhasil dicapai pada masa
Bani Abbasiyah pada periode pertama, kekuatan politik periode selanjutnya
semakin melemah sehingga pada periode kelima dikenal dengan masa disintegrasi
dimana saat itu banyak terjadi gejolak seperti dinasti-dinasti yang
memerdekakan diri dari Bagdad, perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dan
terjadinya perang salib.
RUJUKAN
Achmad Satori
Ismail dkk, Islam Liberal, Jakarta: Pustaka Ikada Tahun 2007
Albert Hourani,
Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Bandung: Mizan Tahun 2004
Al-Mubarrakfury,
Syaikh Shafiyur-Rahman, Sejarah hidup Muhammad: Sirah Nabawiyah, cet. 1,
Jakarta: Robbani Press, 1998
Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Tahun 2006
Jaih Mubarok, Sejarah
Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Qurasy Tahun 2004
Philip. K.
Hitti, History Of The Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, cet. 1 2006
Muhammad Husain
Haekal, As-Siddiq Abu Bakr, Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, cet. 9 2009.
[1] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, h. 17.
[2] Achmad Satori Ismail dkk, Islam Moderat, Jakarta Timur: Pusataka
Ikadi, h 194.
[3] Ibid, h 195.
[4] Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Bandung: Mizan, h.
2.
[5] Syaikh Muhammad Ali
Al-Harakan, Sejarah Hidup Muhammad: Sirah Nabawiyah, Robbani Press 2008,
Jakarta, h. 40
[6] Ibid, h. 86
[7] Al-Qur’an
[8] Philip K. Hitti, History of the Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, h. 145.
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada,
h. 26.
[10] Ibid, h. 27-29.
[11] Philip K. Hitti, History of Arabs, h. 174.
[12] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakr As-Siddiq, Jakarta: PT Pustaka
Litera AntarNusa, h. 33.
[13] Ibid,
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 36
[15] Ibid, h. 36.
[16] Ibid, h 37.
[17] Philip K. Hitti, The History of Arabs, h 223.
[18] Ibid, h 38.
[19] Jaih Mubarok, h 81.
[20] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 42.
[21] Ibid, h. 43.